Langsung ke konten utama

Mencintai dalam diam

" Bisa jadi, orang yang mencintaimu adalah orang yang tidak pernah menyatakan cinta kepadamu " ( Kahlil Gibran )

    Kita mungkin tersentak membaca ungkapan kahlil gibran tersebut, karena manalah mungkin seseorang yg mencintai tapi tidak menyatakan, mengatakan cintanya. tidaklah mungkin lisannya tetiba kelu untuk mengingkapkan luahan hatinya yg semakin hari semakin menggebu, bagaimana mungkin seseorang mampu bertahan dari penderitaan yg begitu dalam dari memendam cinta. sampai disini kita pun setuju, apa yg dikatakan kahlil gibran hanyalah semu.
    Tapi bisa jadi itu juga benar, hati kita diam2 meng iyakan, atau bahkan pernah merasakannya? bagi kaum perempuan hal seperti ini tentu bukanlah sesuatu yang asing lagi. betapa tidak norma keadaban seorang perempuan menyatakan kecintaannya sudah sangat melangit, menjadi sebuah kemafhuman yang diam2 disepakati bahwa alangkah buruknya bagi perempuan2 yg mengutarakan cintanya, dimana harga dirinya? begitulah kira-kira kesepakatan yg tak tertulis itu. Padahal beratus tahun sebelum mereka, seorang wanita mulia, pendamping manusia utama telah mencontohkan bagaimana melabuhkan cintanya ; Khadijah Al-Kubra. Muhammad Al-Amin adalah seorang yg awalnya sangat ia kagumi kejujurannya, kecakapannya, kemahirannya, budi pekertinya. kagum berbuah menjadi cinta, ia tahu bagaimana merangkumnya, lewat seorang utusannya ia melamar Muhammad yg kelak menjadi pendampingnya di dunia dan syurga-Nya.
    lalu bagaimana dengan para lelaki yang memendam cintanya? bukankah itu adalah sebuah kepengecutan yang mampu membuat seisi bumi mencibir keji? mengapa ia tidak mengungkapkan gemuruh hati, rindu yang mendera atau wajah yang selalu ingin tertatap mesra? berbagi senyum dan cerita? ada apakah gerangan dengan seorang makhluk yang ditakdirkan lebih kuat menanggung beban itu?. Kita akan mulai menenun cerita.
    Disini kita abaikan orang2 yang memang mempunyai rasa malu atau rendah diri yang tinggi, di sisi ini kita akan mencoba memaklumi orang2 yang memang merasa tak mampu untuk merubah rasa jadi kata karena hal2 itu. disini kita akan berbicara tentang para pemberani yang tetiba saja diam, tak mampu berkata-kata akan sesuatu yang membuncahi dadanya, yang membuat malam2nya lebih panjang diisi dengan lamunan atau gubahan syair2 cinta yang takkan bisa ia singgahi. ada apa kiranya? disini kita akan coba menyelaminya, salah satu yang kita temukan kemudian adalah pertemanan yang begitu lama dan dalam, biasanya ada beberapa hal dari sebab ini yang membuat bibir menjadi beku, rasa gagal berubah jadi kata, bahkan pada baris2 kalimat pun ia gagal menuliskannya. ketakutan kehilangan kedekatan adalah hal yang paling mendominasi, paling merajai jiwa, mengalahkan debar2 dada pada skala terkecil sekalipun ketakutan kehilangan kedekatan atau interaksi ini selalu berhasil membekukan bara. Mungkin lirihnya "Biarkanlah aku memendamnya, toh apalah arti kata2 itu jika engkau selalu ada disisiku? membersamaimu adalah kebahagiaanku".
     Satir, menyedihkan. karena takkah dia berfikir sampai kapan kedekatan itu? bagaimanapun perpisahan itu akan tiba, saat dirinya telah terpinang, mendapati belahan jiwanya. Seperti mengharap bebintang selalu ada saat ia tatap, padahal kala siang menghalau gelap, tatapannya samar bahkan hilang, bebintang telah bersinar di belahan bumi yang lain, sementara tak tentu di malam berikutnya ia kan mendapati langit tak terhalang mendung. marilah berbelasungkawa pada mereka.
    Sisi lainnya adalah ketabuan. ini lebih membekukan kata, selamanya ia takkan pernah keluar kecuali melalui syair2 malam yang tak seorang pun mengetahuinya. Boleh jadi ia tetiba mencintai seseorang, tapi kemudian ia mengetahui bahwa seseorang itu tabu baginya untuk diingini, Dia telah terpinang atau memilih. Disini kita tidak mengalungkan rangkaian bunga belasungkawa tapi penghormatan tertinggi pada dia yang mampu menahan gejolak dadanya, mengubah cerita cintanya menjadi do'a2 penuh cinta " Ya Allah bahagiakanlah dia, kebahagiaannya adalah kebahagiaanku jua" 
Ia seseorang yang tetap saja tersenyum padahal gejolak dadanya membuat ia harus jatuh bangun sujud di tengah malam memohonkan Tuhan kekuatan, bahkan menghapus segala kenang dan ingatan, juga memohon sebaik-baik pengganti.
     Jika sudah demikian kita maklumi adanya, bahwa tak semua rasa itu mampu dirubah jadi kata. Cerita menuju satir atau keharuan sejati hanya masing2 kita yang bisa menilainya, atau merasakannya ?
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senja di Palestina..

Senja di palestina, bidadari berbaris rapi menyambut para syuhada, sebagian berebut ruh mereka di tanah-tanah ajaib; Gaza.. Senja di Palestina.. raungan cekaman silih berganti rasa: syahid yang dimimpikan, syurga yang dijanjikan.. Senja di Palestina.. jutaan do'a bersayap cahaya menembus langit, beberapa mengiringinya dengan air mata, juga sesak; hanya itu yg dia bisa Senja di Palestina.. sesaat lagi fajar kemenangan akan tiba, menerbitkan cahaya di timur yang mengangkasa, dari Gaza.. 

Perempuan di balik senja

 Seorang perempuan memandang cermin, lusuh, ia sudah tak mengingat kapan terakhir ia membasuhnya dengan lap basah. Debu-debu dipermukaannya, menampakan wajahnya yang juga lusuh ditelan senja. Dalam cermin itu ia melihat bayangan almanak, tepat dipinggir jendela yang memerah karena pantulan matahari senja. Perempuan beranjak, mendekati almanak “sudah tanggal muda, aku lupa membaliknya” ia bergumam, lalu membalikan lembaran kalender yang telah lima bulan terpampang didinding kamarnya. “ah..minggu depan ternyata tanggal lahirku, bertambah lagi umurku” ia mengusap pipinya; kasar. Ia lalu berjalan, mendekati jendela. Sudah senja, langit memerah megah. Sebentar lagi gelap sempurna menggulung terang. Ia masih disana, kembali jatuh kagum pada senja, tempat semua heningnya berhimpun. Ia tersenyum; satir.. “sudah lagi senja, padahal baru saja kulihat arak awan fajar. Satu persatu warna tersibak, cahaya memancar dari timur, menebar warna, semua yang dilaluinya menjadi i

Tentang debar, deras kata dan hening hujan..

Layar terkembang, kisah kembali dimulai lengkum senyum di ujung senja dan debar yang demikian meraja "Selalu ada berjuta alasan untuk membawamu serta" katamu "Dan malam ini hanya ada aku dengan segudang tanya, dan engkau yang akan memecahkan karang" wajahnya melukis senyum; bimbang. Lalu kita menyusuri malam, berjalan beriring dibawah temaram lampu kota orang-orang lalu lalang, beberapa mengukir tawa sementara kepalaku penuh tanda tanya "apa yang hendak kau tanyakan, duhai?" tatapan mata tak seperti biasanya, aku melihat binar kata-kata berjatuhan dari atas kepala: ia ingin mengatakan sesuatu, tunggulah hingga membuncah sementara bawalah ia menaiki mesin waktu, mengisahkan lampau dimana semua kisah bermula dan terus saja kepala diputari tanda tanya "Duhai..Apa yang hendak engkau katakan?" Ia menjatuhkan tubuhnya ke belakang sofa sesekali matanya memejam sembari berkata sangat pelan "Mengapa tak pernah mati sega