Langsung ke konten utama

Entahlah, Mungkin...

Dari nyeri ke nyeri, kaulah satu-satunya luka yang tak ingin kuakhiri.
 ~


    Entah sedang memikirkan apa sekarang, semuanya menjadi serba acak, random aku biasa menyebutnya. Suara-suara berngiang di telinga namun entah bicara apa, juga wajah-wajah yang silih berganti menampakan diri, entah kenapa. hanya tersudut saja di tepi bingung seraya silih berganti suara-suara itu menggema " aah kenapa juga kau tempuhi lagi jalannya". sementara yang lain tak kalah lantangnya "sadarlah, lihat bumi engkau menjejak sekarang". berisiik.
    Siapa yang harus disalahkan sekarang? pada yang mendekat? atau kaki yang mendekati? atau sama-sama ke satu titik, saling mendekati untuk kembali bertemu di titik semu? entahlah. Siapa yang harus disalahkan atas sesuatu yang tidak juga mati, atau aku yang masih menyiramnya diam-diam? atau dia yang pandai memainkan titik lemah bernama pertemuan? ah mengapa begitu banyak tanda tanya jika semua jawabnya hanya entahlah..pun ia adalah penulis dan penjawab dalam wajah yang sama ; sama-sama lemah.
    Padahal hati mengakui, nyeri demi nyeri berulang menimpahi, saling melengkapi, saling menggenapi. entah kenapa wajah begitu bebal atas sakit yang senantiasa ia turunkan persis seperti hujan di musimnya, terkadang hujan gersang tanpa hadirnya, jikalau musimnya tiba setelah subur bunga sisanya adalah banjir dan lumpur. maka heran saja pada yang tidak jua mengerti akan makna sakit dan jatuh yang berulang seraya membesar-besarkan diri dengan harapan, bahkan pada impian termusykil sekalipun. miris, mungkin jiwanya sudah menuju gila, ia melompat-lompat dari atas bukit berharap awan dapat di pijak, sementara bumi telah menyiapkan ucapan selamat datang terseram : jurang dan batuan tajam ! hiduplah dengan harapan, sementara tubuh telah siap tercabik-cabik bebatuan di dasar jurang, membuat daging dan tulang hancur berantakan.
    Meri belajar rumus sederhana yang hanya orang-orang hebat mampu melakukannya : melupakan, mengikhlaskan. keduanya ringan di lidahmu, namun berat hatimu mengiyakannya. apalah mudahnya melupakan? mengikhlaskan? sementara engkau tidak tahu bagaimana cara mematikannya, engkau tidak tahu bagaimana tiba2 ia ada disana, lalu engkau perintahkan cabut ia dengan kuatnya. bagaimana caranya? entahlah. aku, kamu tahu? Aku menyerah, jika kamu tahu mungkin dapat mulai mencabuti satu demi satu potongan kenang ; sempurnalah pergi.
    Mungkin memang seperti itu, bagaimana mungkin melupakan sementara wajah masih sering bertukar pandang, bagaimana bisa mengikhlaskan sementara senyum saling terlempar, rangkai kata saling terkirimkan. sempurnalah pergi sembari sedikit demi sedikit menghapus dengan tidak meninggalkan tanda-tanda baru. dengan itu saja mungkin nyeri demi nyeri perlahan pergi.
" akan ada masanya" kataku juga katamu, saat semua cerita ini benar-benar berakhir sempurna. padahal itu katamu setengah windu yang lalu, lantas kapan? entahlah lagi ( sementara diri bersiap dalam gigil bernama ; puncak nyeri terakhir ) saat kalian duduk berdamping-dampingan, menebar senyum sementara malaikat menghimpun kalian dengan keberkahan. mungkin disudut itulah masa yang pernah engkau katakan, setengah windu yang lalu.
    Sudahlah..kita coba lagi menghentikan tenun cerita, menyadarkan diri, menginsyafi diri atas duka, nyeri, jatuh dan kesadaran akan bumi yg terjejaki. Belajar lagi dan lagi, terus menerus tentang makna ikhlas yang sungguh berat hati melakukan, karena ia sendiri benar-benar tidak faham atas apa yg terjadi. Sembari sesekali menyimak ( dan menebak ) akhir dari cerita yang mungkin ( pasti ) berakhir pahit.entahlah..aku terlalu mencintaimu mungkin, bintang...


 Sebab aku mencintaimu, tak jenuh kurawat luka-luka sepi, hingga nanti ketiadaanmu menggenapi.
   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senja di Palestina..

Senja di palestina, bidadari berbaris rapi menyambut para syuhada, sebagian berebut ruh mereka di tanah-tanah ajaib; Gaza.. Senja di Palestina.. raungan cekaman silih berganti rasa: syahid yang dimimpikan, syurga yang dijanjikan.. Senja di Palestina.. jutaan do'a bersayap cahaya menembus langit, beberapa mengiringinya dengan air mata, juga sesak; hanya itu yg dia bisa Senja di Palestina.. sesaat lagi fajar kemenangan akan tiba, menerbitkan cahaya di timur yang mengangkasa, dari Gaza.. 

Perempuan di balik senja

 Seorang perempuan memandang cermin, lusuh, ia sudah tak mengingat kapan terakhir ia membasuhnya dengan lap basah. Debu-debu dipermukaannya, menampakan wajahnya yang juga lusuh ditelan senja. Dalam cermin itu ia melihat bayangan almanak, tepat dipinggir jendela yang memerah karena pantulan matahari senja. Perempuan beranjak, mendekati almanak “sudah tanggal muda, aku lupa membaliknya” ia bergumam, lalu membalikan lembaran kalender yang telah lima bulan terpampang didinding kamarnya. “ah..minggu depan ternyata tanggal lahirku, bertambah lagi umurku” ia mengusap pipinya; kasar. Ia lalu berjalan, mendekati jendela. Sudah senja, langit memerah megah. Sebentar lagi gelap sempurna menggulung terang. Ia masih disana, kembali jatuh kagum pada senja, tempat semua heningnya berhimpun. Ia tersenyum; satir.. “sudah lagi senja, padahal baru saja kulihat arak awan fajar. Satu persatu warna tersibak, cahaya memancar dari timur, menebar warna, semua yang dilaluinya menjadi i

Tentang debar, deras kata dan hening hujan..

Layar terkembang, kisah kembali dimulai lengkum senyum di ujung senja dan debar yang demikian meraja "Selalu ada berjuta alasan untuk membawamu serta" katamu "Dan malam ini hanya ada aku dengan segudang tanya, dan engkau yang akan memecahkan karang" wajahnya melukis senyum; bimbang. Lalu kita menyusuri malam, berjalan beriring dibawah temaram lampu kota orang-orang lalu lalang, beberapa mengukir tawa sementara kepalaku penuh tanda tanya "apa yang hendak kau tanyakan, duhai?" tatapan mata tak seperti biasanya, aku melihat binar kata-kata berjatuhan dari atas kepala: ia ingin mengatakan sesuatu, tunggulah hingga membuncah sementara bawalah ia menaiki mesin waktu, mengisahkan lampau dimana semua kisah bermula dan terus saja kepala diputari tanda tanya "Duhai..Apa yang hendak engkau katakan?" Ia menjatuhkan tubuhnya ke belakang sofa sesekali matanya memejam sembari berkata sangat pelan "Mengapa tak pernah mati sega