Dari nyeri ke nyeri, kaulah satu-satunya luka yang tak ingin kuakhiri.
~@marsshmalloow
Entah sedang memikirkan apa sekarang, semuanya menjadi serba acak, random aku biasa menyebutnya. Suara-suara berngiang di telinga namun entah bicara apa, juga wajah-wajah yang silih berganti menampakan diri, entah kenapa. hanya tersudut saja di tepi bingung seraya silih berganti suara-suara itu menggema " aah kenapa juga kau tempuhi lagi jalannya". sementara yang lain tak kalah lantangnya "sadarlah, lihat bumi engkau menjejak sekarang". berisiik.
Siapa yang harus disalahkan sekarang? pada yang mendekat? atau kaki yang mendekati? atau sama-sama ke satu titik, saling mendekati untuk kembali bertemu di titik semu? entahlah. Siapa yang harus disalahkan atas sesuatu yang tidak juga mati, atau aku yang masih menyiramnya diam-diam? atau dia yang pandai memainkan titik lemah bernama pertemuan? ah mengapa begitu banyak tanda tanya jika semua jawabnya hanya entahlah..pun ia adalah penulis dan penjawab dalam wajah yang sama ; sama-sama lemah.
Padahal hati mengakui, nyeri demi nyeri berulang menimpahi, saling melengkapi, saling menggenapi. entah kenapa wajah begitu bebal atas sakit yang senantiasa ia turunkan persis seperti hujan di musimnya, terkadang hujan gersang tanpa hadirnya, jikalau musimnya tiba setelah subur bunga sisanya adalah banjir dan lumpur. maka heran saja pada yang tidak jua mengerti akan makna sakit dan jatuh yang berulang seraya membesar-besarkan diri dengan harapan, bahkan pada impian termusykil sekalipun. miris, mungkin jiwanya sudah menuju gila, ia melompat-lompat dari atas bukit berharap awan dapat di pijak, sementara bumi telah menyiapkan ucapan selamat datang terseram : jurang dan batuan tajam ! hiduplah dengan harapan, sementara tubuh telah siap tercabik-cabik bebatuan di dasar jurang, membuat daging dan tulang hancur berantakan.
Meri belajar rumus sederhana yang hanya orang-orang hebat mampu melakukannya : melupakan, mengikhlaskan. keduanya ringan di lidahmu, namun berat hatimu mengiyakannya. apalah mudahnya melupakan? mengikhlaskan? sementara engkau tidak tahu bagaimana cara mematikannya, engkau tidak tahu bagaimana tiba2 ia ada disana, lalu engkau perintahkan cabut ia dengan kuatnya. bagaimana caranya? entahlah. aku, kamu tahu? Aku menyerah, jika kamu tahu mungkin dapat mulai mencabuti satu demi satu potongan kenang ; sempurnalah pergi.
Mungkin memang seperti itu, bagaimana mungkin melupakan sementara wajah masih sering bertukar pandang, bagaimana bisa mengikhlaskan sementara senyum saling terlempar, rangkai kata saling terkirimkan. sempurnalah pergi sembari sedikit demi sedikit menghapus dengan tidak meninggalkan tanda-tanda baru. dengan itu saja mungkin nyeri demi nyeri perlahan pergi.
" akan ada masanya" kataku juga katamu, saat semua cerita ini benar-benar berakhir sempurna. padahal itu katamu setengah windu yang lalu, lantas kapan? entahlah lagi ( sementara diri bersiap dalam gigil bernama ; puncak nyeri terakhir ) saat kalian duduk berdamping-dampingan, menebar senyum sementara malaikat menghimpun kalian dengan keberkahan. mungkin disudut itulah masa yang pernah engkau katakan, setengah windu yang lalu.
Sudahlah..kita coba lagi menghentikan tenun cerita, menyadarkan diri, menginsyafi diri atas duka, nyeri, jatuh dan kesadaran akan bumi yg terjejaki. Belajar lagi dan lagi, terus menerus tentang makna ikhlas yang sungguh berat hati melakukan, karena ia sendiri benar-benar tidak faham atas apa yg terjadi. Sembari sesekali menyimak ( dan menebak ) akhir dari cerita yang mungkin ( pasti ) berakhir pahit.entahlah..aku terlalu mencintaimu mungkin, bintang...
~
Entah sedang memikirkan apa sekarang, semuanya menjadi serba acak, random aku biasa menyebutnya. Suara-suara berngiang di telinga namun entah bicara apa, juga wajah-wajah yang silih berganti menampakan diri, entah kenapa. hanya tersudut saja di tepi bingung seraya silih berganti suara-suara itu menggema " aah kenapa juga kau tempuhi lagi jalannya". sementara yang lain tak kalah lantangnya "sadarlah, lihat bumi engkau menjejak sekarang". berisiik.
Siapa yang harus disalahkan sekarang? pada yang mendekat? atau kaki yang mendekati? atau sama-sama ke satu titik, saling mendekati untuk kembali bertemu di titik semu? entahlah. Siapa yang harus disalahkan atas sesuatu yang tidak juga mati, atau aku yang masih menyiramnya diam-diam? atau dia yang pandai memainkan titik lemah bernama pertemuan? ah mengapa begitu banyak tanda tanya jika semua jawabnya hanya entahlah..pun ia adalah penulis dan penjawab dalam wajah yang sama ; sama-sama lemah.
Padahal hati mengakui, nyeri demi nyeri berulang menimpahi, saling melengkapi, saling menggenapi. entah kenapa wajah begitu bebal atas sakit yang senantiasa ia turunkan persis seperti hujan di musimnya, terkadang hujan gersang tanpa hadirnya, jikalau musimnya tiba setelah subur bunga sisanya adalah banjir dan lumpur. maka heran saja pada yang tidak jua mengerti akan makna sakit dan jatuh yang berulang seraya membesar-besarkan diri dengan harapan, bahkan pada impian termusykil sekalipun. miris, mungkin jiwanya sudah menuju gila, ia melompat-lompat dari atas bukit berharap awan dapat di pijak, sementara bumi telah menyiapkan ucapan selamat datang terseram : jurang dan batuan tajam ! hiduplah dengan harapan, sementara tubuh telah siap tercabik-cabik bebatuan di dasar jurang, membuat daging dan tulang hancur berantakan.
Meri belajar rumus sederhana yang hanya orang-orang hebat mampu melakukannya : melupakan, mengikhlaskan. keduanya ringan di lidahmu, namun berat hatimu mengiyakannya. apalah mudahnya melupakan? mengikhlaskan? sementara engkau tidak tahu bagaimana cara mematikannya, engkau tidak tahu bagaimana tiba2 ia ada disana, lalu engkau perintahkan cabut ia dengan kuatnya. bagaimana caranya? entahlah. aku, kamu tahu? Aku menyerah, jika kamu tahu mungkin dapat mulai mencabuti satu demi satu potongan kenang ; sempurnalah pergi.
Mungkin memang seperti itu, bagaimana mungkin melupakan sementara wajah masih sering bertukar pandang, bagaimana bisa mengikhlaskan sementara senyum saling terlempar, rangkai kata saling terkirimkan. sempurnalah pergi sembari sedikit demi sedikit menghapus dengan tidak meninggalkan tanda-tanda baru. dengan itu saja mungkin nyeri demi nyeri perlahan pergi.
" akan ada masanya" kataku juga katamu, saat semua cerita ini benar-benar berakhir sempurna. padahal itu katamu setengah windu yang lalu, lantas kapan? entahlah lagi ( sementara diri bersiap dalam gigil bernama ; puncak nyeri terakhir ) saat kalian duduk berdamping-dampingan, menebar senyum sementara malaikat menghimpun kalian dengan keberkahan. mungkin disudut itulah masa yang pernah engkau katakan, setengah windu yang lalu.
Sudahlah..kita coba lagi menghentikan tenun cerita, menyadarkan diri, menginsyafi diri atas duka, nyeri, jatuh dan kesadaran akan bumi yg terjejaki. Belajar lagi dan lagi, terus menerus tentang makna ikhlas yang sungguh berat hati melakukan, karena ia sendiri benar-benar tidak faham atas apa yg terjadi. Sembari sesekali menyimak ( dan menebak ) akhir dari cerita yang mungkin ( pasti ) berakhir pahit.entahlah..aku terlalu mencintaimu mungkin, bintang...
Sebab aku mencintaimu, tak jenuh kurawat luka-luka sepi, hingga nanti
ketiadaanmu menggenapi.
Komentar
Posting Komentar