Seorang
perempuan memandang cermin, lusuh, ia sudah tak mengingat kapan terakhir ia
membasuhnya dengan lap basah. Debu-debu dipermukaannya, menampakan wajahnya
yang juga lusuh ditelan senja.
Dalam cermin
itu ia melihat bayangan almanak, tepat dipinggir jendela yang memerah karena
pantulan matahari senja. Perempuan beranjak, mendekati almanak
“sudah
tanggal muda, aku lupa membaliknya” ia bergumam, lalu membalikan lembaran
kalender yang telah lima bulan terpampang didinding kamarnya.
“ah..minggu
depan ternyata tanggal lahirku, bertambah lagi umurku” ia mengusap pipinya;
kasar.
Ia lalu
berjalan, mendekati jendela. Sudah senja, langit memerah megah. Sebentar lagi
gelap sempurna menggulung terang. Ia masih disana, kembali jatuh kagum pada
senja, tempat semua heningnya berhimpun. Ia tersenyum; satir..
“sudah lagi
senja, padahal baru saja kulihat arak awan fajar. Satu persatu warna tersibak,
cahaya memancar dari timur, menebar warna, semua yang dilaluinya menjadi indah.
Sekarang sudah senja, segalanya menjadi merah sekarang, sesaat lagi gelap.
Seperti aku?” Senyumnya pudar, ia jatuh dalam murung, lagi..
“Riani..sudah
berapa kali ibu bilang, jangan suka ngelamun depan jendela” Tiba-tiba suara
ibunda mengagetkannya
“Apa lagi
yang sedang engkau pikirkan duhai?” Ibunda memeluk anak semata wayangnya dari
belakang, lalu membalikan badan anaknya, memandang matanya lekat-lekat. Ia
melihat gurat sedih itu lagi dan lagi diwajah anaknya.
“Tidak bu,
Riani ngga mikirin apa-apa kok” ia coba mengukir senyum, menyembunyikan segala
gundahnya
Beberapa
saat mereka saling pandang, lalu ibunda berlalu, duduk di kursi dan kembali
menatap anaknya tajam..
“Aku ibumu,
segala gundah, lara, sedihmu aku tahu. Aku dapat membacanya jauh dari gurat
wajah dan debar hatimu. Ceritakan sayang, apa yang melukakan hatimu? Sering
kulihat wajahmu tak lagi seperti purnama, kabut menutupi terangmu. Ada apakah?”
Ia bertanya
Perempuan
mencoba menahan, namun pertahanannya terlalu lemah. Pecahlahlah, airmatanya
jatuh menderas. Ia berlari lalu memeluk ibunda yang sedang terduduk. Rambutnya
dibelai, ia terisak, semakin keras. Ibunda diam, membiarkan segala bebannya
jatuh berkurang lewat airmata.
“ibu…”
katanya sambil terisak, air mata mulai berhenti mengalir
“maafkan
aku, disaat teman-teman sebayaku telah memberi ibu-ibu mereka cucu untuk
ditimang dan menjadi sebab derai tawa, aku masih saja begini, seorang pasangan penyempurna
agama pun aku belum punya. Mungkin sudah begitu lama aku menjadi beban hidupmu
ibu, pun engkau, mungkin telah lelah menunggu kapan kutemukan pasangan hidupku,
belum lagi cibiran orang-orang sebayamu ibu; tentang cucu, tentang aku yang
masih sendiri dalam pilu..” ia kembali terisak, membenamkan wajahnya lagi ke
dalam pelukan ibundanya tercinta.
Ibunda tersenyum,
kerut senja wajahnya terlihat lebih banyak sekarang, pun rambutnya yang semakin
memutih. Ia kembali membelai rambut anak perempuannya, lalu mengangkat
wajahnya, mengusap air mata yang masih juga deras membasahi pipinya.
“Tidak
sayang, tak pernah sekejap pun aku menganggapmu sebagai beban. Engkau adalah
kilau permata yang senantiasa akan bersinar terang dimataku. Percayalah pada
waktu, ketika saatnya tiba engkau akan jatuh takjub, persis ketika engkau
pertama kali melihat pelangi. Aku masih mengingat engkau yang berlarian,
bersorak girang, melihat pelangi setelah hujan. Lama engkau menanti, setelah
hanya mendengar indahnya saja dari cerita-cerita yang kubacakan menjelang
tidurmu menuju negeri mimpi. Akan tiba saatnya, percayalah..” ia memandang wajah anaknya, tersenyum
“Tapi bu,
aku sudah senja, bukan lagi pagi, bukan lagi pelangi..”
“Senja
adalah keniscayaan sayang, sabarlah, setelah gelap mungkin engkau akan melihat
gemintang”
“Sampai
kapan aku menunggu bu?”
Ibunda
terdiam, menghela nafasnya sebentar..
“Kamu lebih
tahu jawabannya sayang, bahkan kamu mungkin hanya perlu menjawabnya
sendirian..sudah sering kulihat pintumu diketuk, siapa yang akan kau izinkan
masuk?”
Perempuan
terdiam, benar, begitu banyak mereka yang datang namun ia abaikan. Bukan para
lelaki itu yang ia inginkan. Laki-laki idamannya telah ia gambarkan sendiri
dalam bayangan, hasil dari berbagai buku dan tayangan para lelaki hebat yang
menjadi para pendamping para perempuan menuju syurga yang dicitakan.
“mungkin
kamu terlalu melihat cela, menilai segala dengan picingan mata. Takkan mampu
kau arungi samudera jiwa-jiwa mereka, cukupkan dengan iman yang menerangi hidup
mereka sayang, lalu berjalanlah beriring. Hidup adalah kumpulan pelajaran, kelak
engkau akan belajar bagaimana mencintai dan berbakti. Cinta hanyalah rasa yang
akan tumbuh seiring waktu. Jikalau benih-benihnya adalah iman dan akhlak,
engkau kan temukan ia tumbuh subur bak taman bunga dimusim penghujan” Ibunda
lalu berdiri, memandangi jendela. Senja semakin menua, namun langit masih
memerah megah
“Sudahkah
kamu meminta dipilihkan yang terbaik menurutNya bukan terbaik menurutmu?”
Ibunda bertanya
Perempuan
terhentak, benar..selama ini ia hanya meminta pendamping yang menurutnya baik
untuknya, bukan menurutNya. Tak jarang ia memaksa Tuhan mengabulkan segala
inginnya, untuk dipasangkan dengan ia yang menurutnya lelaki terbaik baginya.
“Segalanya
kini terserah padamu, Tuhan mungkin telah memberikan jawaban, hanya mungkin
engkau harus lebih pandai membaca pesan” Ibunda berlalu, keluar dari kamar,
menutupkan pintu.
Perempuan
menghapus sisa airmatanya, berdiri, lalu berjalan menuju jendela. Kembali ia
pandangi senja, gelap akan sempurna menggulung terang; sesaat lagi.
Ia lalu
teringat, setelah istikharahnya seminggu yang lalu, ia menerima sebuah lamaran,
dari seseorang yang telah ia kenal namun ia abaikan karena bentang jarak yang
begitu lebar.
“Aku tak
ingin meninggalkan kotaku tersayang, aku ingin disini, tak ingin dibawanya
pergi..tapi..bilakah ternyata ia sang pendamping sejati? Yang agama dan
akhlaknya sudah diamini banyak penduduk bumi? Bilakah ternyata ia yang menjadi
jawaban atas pintaku selama ini?”
Perempuan
menuju meja, sebuah map tergeletak disitu, ia kembali membukanya, membaca
baris-baris huruf yang membentuk sebuah nama: Muhammad Raihan Al-farisi,
seorang sahabat lama dan penghafal Kalam-kalam Tuhan dari kota seberang.
“Diakah
Rabbi?” tanyanya.
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………….
Senjapun hilang,
gelap menyelimuti bumi. Satu persatu kumandang adzan menggema, bersahutan membelah
langit.
Sementara
itu disebuah kota yang lain seorang laki-laki mengucapkan syukur
“Alhamdulillah
Ya Rabbi atas nikmat buka puasa kali ini. Duhai Maha Penyayang kabulkanlah
pintaku; ampuni dosaku, terimalah amalku, berkahi ikhtiarku, dan Ya
Rabb..sempurnakanlah agamaku, pada dia yang kupintakan padaMu; jika ia baik
bagiku menurutMu, maka mudahkanlah..mudahkanlah Ya Rabb Aamiin Ya Rabbal
a’lamiin” ia menutup do’anya.
Laki-laki
lalu kembali meneguk air yang menghilangkan segala dahaganya. Penantiannya
seharian ini usai, adzan telah menjadi tanda: perjuangannya menahan segala
telah tertunaikan dengan sempurna. Kini tinggal ia nikmati segala penantiannya
akan penghilang dahaga..
“Kak Raihan
ada telpon” tiba-tiba Asma, adik semata wayangnya muncul dari balik pintu.
“Dari teh
Riani” katanya menambahkan
Lelaki
tersenyum.. lalu beranjak..
“Semoga Ya
Rabb..semoga..” ucapnya
Langit
menggelar tirainya, purnama bulan, gemintang..malam bertabur cahaya. Tak ada
lagi kabut, tak nampak lagi mendung. Ia cerah, secerah dua hati manusia yang
saling menangkup rindu, tentang penantian yang akan berakhir itu. Senja telah
mengajarkan mereka banyak hal, tentang cahaya yang akan tetap mereka temukan
setelah malam; purnama dan bebintang….
Seperti ku
BalasHapusSeperti senja
Terlahir pada kesempurnaan yg berkabut
Kren
BalasHapus