Seorang lelaki duduk bersama degup, hatinya diliputi debar sementara
kepalanya dikelilingi tanda tanya. Waktu telah membuat sang lelaki semakin
kalut, tak tenang. Sebuah wajah yang menyebabkan semuanya, mewarnai hatinya
dengan semua rasa, debar, rindu, harap, malu.
Entah sampai kapan ia menyerah pada waktu..
Langit begitu terik, berkali-kali Faris mengusap keringat yang menderas
di keningnya. Ac ruangan kelas Bahasa
Arab yang ia ikuti seolah mati, tak mampu mengehela panas yang sedari tadi menyiksanya.
Namun ia mengacuhkannya, seseorang yang mampu menyejukkan hatinya belum nampak
di hadapannya.
“Mana dia ya? Kok belum datang?” berkali-kali Faris melihat ke
pintu disampingnya. Ia menanti kehadiran
seseorang yang akhir-akhir ini membuat debarnya jadi tak menentu.
“Akh Faris, bisa mohon perhatiannya sebentar? Materi ini sangat penting
untuk tes hiwar pekan depan? “
Ustadz Hilman menegur Faris yang sedari
tadi tidak begitu memperhatikannya. Beberapa temannya berusaha menahan tawa.
“Baik, Afwan Stadz, Afwan..” faris menunduk malu, mukanya memerah.
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu dan mengucap salam, jantung faris berdebar
kencang
“Assalammualaikum, Afwan Ustadz, ana telat. Tadi harus ngantar ibu dulu
ke swalayan”
“Tiba apa-apa Fani, tafadhol, silahkan duduk.” Fani duduk di kursi
biasanya, disampingnya Rina sahabat baiknya menyambutnya dengan senyum.
“Kemana aja neng? Faris sudah ditegur Ustadz tadi gara-gara bengong
melulu. Nungguin kamu kali hihi”. Rina berkata pelan sekali
“Apaan sih?” Fani tersipu. Dibarisan bangku ikhwan Faris sudah mulai bisa
tersenyum, tak dirasakan lagi terik yang membakarnya, namun degupnya masih juga
kencang.
“Ada apa denganku? Apakah aku jatuh suka?” hatinya berkata.
*****
Fani dan Faris, teman-teman mengenal mereka sebagai sahabat karib. Sejak
dulu mereka secara sengaja ataupun tidak selalu bersama-sama dalam berbagai
kagiatan ataupun perkerjaan. Dulu secara tak sengaja mereka berkenalan di
sebuah toko buku, ketika Fani kesulitan mengingat judul buku yang dicarinya.
“Itu lho kang, bukunya yang ditulis Ibnul Qoyyim, tentang cinta-cinta
gitu, tau ngga?” tanyanya kepada salah satu pelayan.
“Aduh Teh, apa ya? Harus jelas judul bukunya, biar saya nyarinya mudah.
Soalnya toko ini ngga dilengkapi software pencari kaya di toko buku modern”
jawab pelayan sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Faris yang kebetulan dekat disana dan mendengarkan pembicaraan ,
mendekati mereka.
“Nyari buku Taman orang-orang yang jatuh cinta dan memendam rindunya,
Imam ibnul Qoyyim Al-jauziyah ya Teh?”
“naah itu, judulnya itu. Makasih ya Kang. Ada ngga kang buku itu?”
setelah berterima kasih fani kembali bertanya pada si pelayan.
“Buku itu ya, ntar saya liat dulu di komputer ya Teh, dia ada dimana”
“Ngga usah, saya tau tempatnya. Tuh di rak sebelah kanan, tadi saya
lihat. Ayo teh kalo ngga keberatan saya anterin ngambilnya”
“waah jadi yang pelayan tokonya siapa? Kok si akang ini yang lebih tau
dari pekerjanya sendiri hehe”
“Hehe maklum Teh, saya baru. Lagian bukunya banyak banget yang harus
saya hafalin hehe”
“Yu teh saya tunjukin, oh iya nama saya Faris”
“Saya Fani” Fani tersenyum, manis sekali.
Setelah perkenalan itu secara tidak sengaja mereka jadi sering bertemu.
Mereka bertemu lagi di suatu pengajian pekanan di salah satu Mesjid kota
Bandung, mereka bertemu ketika Fani
sedang menyebarkan kuosioner untuk skripsinya, mereka bertemu ketika Fani
sedang mendorong sepeda motornya yang mogok, mereka bertemu di konser-konser
nasyid, mereka bertemu ketika sedang demo kenaikan bbm, dan banyak lagi
kebetulan-kebetulan lainnya, terakhir secara tak sengaja mereka bertemu lagi di
kelas kursus bahasa Arab dan sama-sama jadi aktivis Mesjid di tempat mereka
belajar.
Lama-lama mereka menjadi saling mengenal dan bersahabat baik. Faris
membantu Fani menyelesaikan skripsinya, membantu menyebarkan kuosioner,
memperbaiki pcnya yang ngadat, mencarikannya buku-buku referensi di toko-toko
buku, dan lain-lain. Sementara Fani sering membantu faris menyelesaikan
tugas-tugas diagram pekerjaan yang tidak dikuasainya, membantunya memahami
tugas-tugas bahasa Arab, meminjamkannya cd-cd nasyid terbaru dan memotivasi
ketika Faris sedang down karena pekerjaannya. Mereka telah menjadi sepasang
sahabat baik.
“ F dan F keren tuh, tulisannya pake tinta emas timbul, dibingkai
lambang hati 3D, wiih kereen, pokoknya ntar ane desainin deh buat ente free”
Tiba-tiba Adly berkata pada Faris
“Hah? Maksudnya?” Faris bertanya, tidak mengerti maksud perkataan temannya
itu
“halah, ente kira ane anak keciil, ngga bisa liat. Udah lamar aja napa,
kalian udah deket gitu, udah saling kenal, faham. Faris dan Fani, F dan F.
keren beneran sumpah, jarang-jarang tuh undangan inisial hurufnya sama”
“hahaha apaan..ngga lah, kita Cuma temenan aja. Lagian fani tuh ngga
cocok ama ane, dia mah terlalu baik, cantik, sholehah. Lagian dia juga cuman
nganggap temen kok ke ane”
“aaah cemen ente ris, udah diembat orang baru deh nyesel. liat Fani
ngobrol ama ikhwan lain juga muka ente udah kaya sambel terasi yang disimpen di
aspal siang bolong haha”
“haha bisa aja ente, ngga lah. Kita temenan aja kok beneran. Lagian
kayanya emang lebih enak temenan deh” Faris membohongi dirinya sendiri,
tiba-tiba saja suara-suara disekitarnya menghilang, hanya ada dia dan hening.
“Aku benar-benar mencintainya sekarang” ucap hatinya lirih.
***********
“Kenapa bengong neng?” Rina menepuk bahu sahabatnya.
“astagfirullah..Rinaa iih bikin kaget aja” Fani memegangi dadanya, ia
benar-benar kaget
“hehe afwan, lagian malam-malam bengong, ngga baiik”
“ngga bengong kok, eh kamu kok bisa tiba-tiba ada di kamar aku sih?”
“Ngga bengong tapi ngga ngeh aku datang, tadi tuuh aku disuruh langsung
ke kamar ama ibu kamu, pintunya kebuka, eeh yang disalamin malah bengong, lagi
mikirin apa neng? Faris ya hehe”
“iih so yu now, so tau banget iih wee” fani tidak menyadari wajahnya
yang tetiba memerah, Rina berhasil lagi membaca hatinya.
“jujur deh ke aku, kamu suka ya ke Faris?” Rina menatap tajam mata Fani,
Dipandangi seperti itu Fani menunduk.
“Ngga tau Na, aku ngga ngerti, aku belum pernah ngerasain hal itu jadi
ngga ngerti bagaimana rasa itu ada. Selama ini kami hanya berteman dekat aja
ngga lebih. Dan sepertinya kita memang cocoknya berteman aja, lebih nyaman gitu
kayanya, kita ngga ada canggung lagi soalnya.” Fani mulai membuka diri
bercerita
“Kalian udah deket banget Fan, serasi banget aku ngeliatnya, cocok.
Kalian juga udah mengenal keluarga masing-masing, udah pada kerja, udah mapan,
udah cukup umur, nunggu apa lagi coba?”
“yaa ngga semudah itu Ran, jatuh cinta atau pernikahan ngga harus melulu
dengan syarat-syarat yang lazim atau terpenuhi itu. Ada hal-hal lain yang
kadang kita ngga ngerti, kok begini, kok begitu? Kita ngga bisa ngerti. Karena
kadang-kadang saja ia bisa tumbuh, hadir, tapi beberapa kadang ngga ngerti
harus gimana? Semuanya hanya menjadi tanda tanya pada akhirnya. Yaa akhirnya
biarkan saja waktu yang berbicara hehe”
“Tsaaaah Fanii bahasanyaa haha..suka mah suka aja, ngga perlu banyak
alasan haha” Kemudian Rina harus berlari menyelamatkan dirinya dari lemparan
bantal yang bertubi-tubi dari Fani.
“Alhamdulillah acaranya berjalan sukses, saya ucapkan terima kasih
kepada teman-teman semua hingga acara ini berhasil. Sekali lagi saya ucapkan
terima kasih, Jazakallah khoiron katsiro, mari tepuk tangan untuk kita semua.”
Semua panitia bertepuk tangan, sangat riuh. Acara Tabligh akbar dalam rangka
penutupan pekan lomba Tahsin, Murattal dan Tahfidz antar TPA se Kabupaten
Bandung yang diketuai Faris telah selesai dengan sukses.
“Fani makasih ya, udah bantu sana-sini, mulai dari persiapan, administrasi,
ngetik-ngetik proposal sampai jadi MC pun semua dilakuin, keren deh, bener-bener
multi talent, multi tasking. kalau ngga ada Fani ngga tau deh hehe” Ujar Faris
di sela-sela pembubaran panitia
“aaah lebaay, biasa aja kali. Ini juga hasil kerja keras semuanya”
“hehe..tapi kan Fani yang paling banyak kerja”
“Kebetulan aja lagi off ngga kerja, kalian kan pada sibuk ama kerjaan
masing-masing. Udah yu ah, udah malem banget ini, nanti ngga kebagian angkot
pulang”
“faris anterin aja gimana? Khawatir banget udah malam”
“Ngga ah, ngga usah. Malu ama yang lain. Ntar dikira apa-apa lagi hehe”
“dikira apa?” Faris tersenyum, wajah Fani memerah. Ia salah ngomong
“Udah ah, fani pulang duluan ya..” buru Fani membereskan tasnya,
kemudian pamit ke teman-temannya yang lain.
“Ris anterin donk, kasian kan Fani pulang sendirian” Ujar Bu Hartati,
Kepala sekolah tempat TPA mereka ngajar sebagai kegiatan tambahan.
“iya Ris, tega banget sih ente” ujar beberapa teman yang lain
“Ngga, ngga usah kok, beneran. Lagian nanti didepan dijemput ayah kok,
sekarang cuman perlu naek angkot aja sekali. Udah ya, Assalammualaikum” fani
buru-buru pergi, bagaimanapun ia mulai merasa ngga nyaman atas “kecurigaan”
beberapa temannya terkait kedekatannya dengan Faris. Sementara Faris hanya
berdiri mematung bingung, tak lama kemudian ia pun pamitan pulang.
Faris membawa mobilnya keluar dari komplek Mesjid, diujung jalan ia
seperti melihat sosok yang dikenalnya . “Fani?”
“Belum dapet angkotnya Ris, kayanya kemaleman deh”
“ayo aku anter aja, yu masuk” Faris membukakan pintu depan mobilnya,
setelah lihat kanan kiri Fani masuk ke dalam mobil.
“Seru ya acaranya, Alhamdulillah sukses. Apalagi penampilan nasyid penutupnya
tadi, wiih keren abiiis”
“huuu geer, memuji diri sendiri” Fani sudah mulai bisa tersenyum,
setelah cukup lama cemberut karena nungguin angkot yang sudah tidak ada
“eh gimana Zikha, jadi pindah ke TK As-Salaam?” Tanya Fani tentang
keponakan Faris
“Jadi kayanya,nunggu pembagian raport aja sih, kesian kalo masih disana,
jauh banget dari rumahnya yang sekarang”
“Sepi dong ya rumah kalau Zikha udah pindah mah?”
“Iya, Ibu juga sering ngomong gitu. Pasti Ibu yang paling sedih deh”
“Makanya kasih cucu donk dari kamu Ris, nunggu apa lagi sih?”
“haha..ya nunggu ibunya lah, masa ujug-ujug punya anak hehe”
“makanya cepetan nikaah” Fani tertawa
“sama siapa?” Tanya Faris
“Sama aku ris, bersediakah?” Fani bertanya dalam hatinya
“Aku pengennya sama kamu Fani..” Faris pun berkata dalam hatinya. Untuk
beberapa saat keduanya larut dalam hening, sebelum sebuah lagu dari radio di
mobil memainkan nasyid yang tadi Faris dan kawan-kawannya bawakan.
“Naaah ini siaran ulang konser ane tadi nih wehehe” faris memperbesar
volume radio
“huuu bagusan ini. yang tadimah KW 11 haha”
“enak aja, mirip gini ama suara ane” Faris kemudian ikut bersenandung
Di kedalamanan hatiku, tersembunyi harapan yang suci
Tak perlu engkau menyangsikan
Lewat keshalihanmu, yang terukir menghiasi dirimu,
Tak perlu dengan kata-kata
Sungguh walau ku kelu, tuk mengungkapkan perasaanku
Namun penantianmu, pada diriku jangan salahkan..
Kalau memang kau pilihkan aku, tunggu sampai aku datang
Nanti kubawa kau pergi, ke syurga abadi
Kini belumlah saatnya, aku membalas cintamu
Nantikanku di batas waktu…
( Nantikanku dibatas waktu – edcoustic )
Fani mendengarkan setiap bait lagu, diam-diam hatinya berkata lirih
sekali
“Adakah harapan yang suci di kedalaman hatimu? Aku menyangsikannya. Jika
benar mengapa tak hendak kau ucapkan saja? Jika tak jua kau ucapkan tentu aku
akan menyalahkan penantianku; sia-sia.
Ya, aku memilihkanmu, namun sampai kapan aku harus menunggu? Kapan
engkau akan datang? Lalu membawaku pergi serta? Kapankah batas waktu yang
engkau maksudkan? Takkan sia-siakah
penantianku?”
“Fani..” SuaraFaris mengagetkan Fani yang sedang hanyut dalam lamunan
tanyanya
“Oh iya, ada apa Ris?” fani berusaha menutupi kekagetannya
“Menurut kamu tentang lamaran via murabbi itu gimana?”
“Maksudnya Ris?”
”Maksudnya kita minta dicarikan pasangan ama Murabbi, caranya dengan
kita kirim CV kita. Nanti CV itu akan disampaikan ke orang yang sudah mengirim
CV juga atau sudah siap nikah. Nah nanti ada tahap-tahap lanjutannya, ketemuan,
ngelamar, nikah deh, simple ya hehe”
“ooh maksudnya di taarufin? Ya bagus atuh, itu mempermudah mereka yang
udah siap nikah, biar secepatnya bisa punya pasangan yang shaleh”
“Ngga, maksudnya apa bisa gitu ya cinta hadir sesingkat itu?. Baca CV,
ketemuan beberapa kali, ngelamar terus nikah deh hehe. Mereka bisa ya membangun
cinta setelah hanya sebentar saja saling mengenal, sementara yang udah lama
saling kenal aja belum tentu bisa cocok dalam berumah tangga hehe”
“Itu namanya membangun cinta Ris, karena mereka sudah dilandasi iman
yang kuat, yang kokoh maka bukan hal yang sulit bagi mereka untuk menaburkan
cinta, menumbuhkan benih-benihnya, lalu menyemainya jadi bunga-bunga cinta .
Karena Iman mereka insya Allah terjaga maka mereka telah mengerti bagaimana
peran saling mencintai itu, masing-masing dari mereka kemudian berusaha
memberikan yang terbaik bagi pasangannya, maka jika kebaikan demi kebaikan itu
saling beradu dan berkumpul, insya Allah mereka akan menjalani kehidupan rumah
tangga yang baik, yang berkah yang bahagia”
“iya, ane bener-bener kagum ama mereka. Mereka orang-orang hebat”
“mereka memahami bahwa mencintai itu hanya peran. Dan mereka pasti akan berusaha
memerankannya dengan baik. Itulah mungkin salah satu alasan utama mencari
pasangan itu adalah yang baik agamanya, karena orang yang baik agamanya pasti
mengerti bagaimana memberikan yang terbaik bagi pasangannya, sesuai apa yang
Allah dan Rasul-Nya contohkan”.
“Tapi tentu, orang-orang yang saling mencintai tanpa taaruf pun ngga
bisa disalahkan. Mereka ngga bisa disalahkan atas cinta yang tiba-tiba hadir,
karena sebelumnya mereka telah mengenal satu sama lain, maka wajar saja mungkin
jika tiba-tiba percik dan benih-benih cinta itu hadir dan berkembang”
“iya, itu kan diluar kekuasaan manusia. Seperti kata-katanya siapa ya?
Lupa lagi”
“ Kata-kata Umar dari Ibnu Hazm, ia mengatakan “seorang laki-laki
berkata kepada Umar r.a, ‘wahai Amirul Mukminin, aku pernah melihat seorang
wanita, kemudian aku jatuh cinta kepadanya. ‘Umar menjawab, “itu berada di luar
kekuasaan manusia.”
‘oh iya, dari bukunya Ibnul Qoyyim ya.?” Fani tersenyum, tetiba ia ingat
sesuatu
“haha, iya. Jadi ingat waktu pertama kenal Fan, udah lama banget ya kita
kenal, 5 tahunan ya?”
“hehe iya, lama banget. Lanjut pembahasannya yu..jadi kesimpulannya
gimana? Kenapa tiba-tiba kamu ngomongin itu Ris? Eaa mau ada yang ngelamar ya?”
“haha..engga, kemaren nyimak obrolan orang di mesjid kantor. Dia
nyalah-nyalahin orang menikah tanpa jalur taaruf, lalu mencap mereka-mereka itu
sebagai orang yang telah zinah mata dan hati. Padahal orang yang dibicarakan
itu para aktivis dakwah juga”
“iih, sadis amat tuduhannya. Ngga gitu juga kali”
“Iya, pernikahan yang “syar’i” itu ngga harus melulu cinta hadir
belakangan. Tak ada salahnya cinta hadir sebelumnya, asal mereka bisa
menjaganya lalu melabuhkannya dengan cara yang halal, yang baik”
“Seperti cintanya Ibunda Khadijah ya. Cintanya kan hadir setelah
mendengar, melihat, memantau dan berinteraksi dg Muhammad Saw dalam hubungan
pekerjaan, lalu terjadilah kisah cinta teragung sepanjang zaman itu”
“Juga seperti kisahnya Ali dan Fathimah fan”
“Memang gimana kisah cinta mereka sih Ris? Apa sama setelah sebelumnya
hadir?”
‘Iya, sebelumnya Ali memang sudah jatuh kagum pada Fathimah. Namun semua
perasaan itu ia pendam, apalagi setelah ia didahului beberapa sahabatnya yang
melamar fathimah. Namun rencana Allah berkata lain, semua lamaran yang
ditujukan ke fathimah ditolak, dan Rasulullah akhirnya menikahkan Fathimah
dengan Ali.”
“Jadi Ali sebelumnya memendam cinta kepada Fatimah ya?”
“Iya, akhirnya cinta dan kerinduan Ali tertumpahkan. Tapi tau ngga apa
yang dikatakan Fatimah di malam pertama mereka?”
“Ngga tau, apa?”
“Fatimah berkata, wahai Ali suamiku, maafkan aku, tahukah engkau bahwa
sesungguhnya sebelum aku menikah denganmu, aku telah lama mengagumi dan
memendam rasa cinta kepada seorang pemuda, dan aku merasa pemuda itu pun
memendam rasa cintanya untukku. Namun akhirnya ayahku menikahkan aku
denganmu..”
“waaah, itu beneran ya Fatimah berkata begitu? Trus Ali nya gimana?”
“Ali bete dong hehe..bahkan katanya gini, ‘wahai Fatimah, aku sudah
menikahimu tapi aku belum menyentuh sedikitpun dari dirimu. Aku rela
menceraikanmu malam ini agar kau bisa menikah dengan pemuda yang kau cintai
itu.’ Fatimah tersenyum lalu berkata “maukah engkau tahu siapa nama pemuda itu?”
“Siapakah dia?” jawab Ali “Pemuda itu
bernama Ali bin Abi thalib, sang pujaan hatiku.”
“aiiih..so sweet” Fani lalu meletakkan kedua tangan menutupi bibirnya
“hehe..jadi sama sekali ngga masalah jatuh cinta dan memendam rasa itu,
selama mampu menjaganya. Cinta yang hadir sebelum taaruf itu tentu akan menjadi
sangat indah jika dilanjutkan ke tahap-tahap selanjutnya, lalu berakhir di
pernikahan. Aah cinta yang terlabuhkan”
‘Aiih Faris ngomongnya nikah mulu, lagi ngebet nikah ya? Ayo cepetan
nikaah hehe”
“Saatnya kah ku ungkapkan sekarang semua debar? Juga kata-kata yang
sudah membuncah, agar berakhir semua siksa juga tanya?” Faris bertanya dalam
hatinya. Ini kesempatan yang baik untuk dia mengungkapkan segalanya, ia lelaki
maka ia harus berani, walaupun ia menyadari resiko persahabatan akan menjadi
renggang jika ternyata cintanya bertepuk sebelah tangan. Namun ia juga
membayangkan bagaimana indahnya jika semua rindunya terlabuhkan, cintanya
bersambut, persahabatan mereka yang akan lebih sejati dengan sebuah ikatan
pernikahan. Ia baru saja akan mengucapkannya sebelum fani mendahuluinya berkata
“Ngomong-ngomong tentang persahabatan dan taaruf, tau ngga kalau kemarin
Zidan mengirimkan cv, pengen ngelamar Fani, Ris”
Faris kaget luar biasa, nyaris saja ia menginjak rem mobilnya
keras-keras. Beruntung ia masih bisa menahannya, wajahnya berubah panik. Zidan,
sahabat baik mereka berdua telah lebih dulu menyatakan cintanya pada fani.
Faris lalu berusaha menenangkan diri dan bertanya
“wah? Kok bisa? Terus gimana Fan? Kamu terima?” Mobil bergerak lebih
pelan
“Ngga, aku mungkin ngga sehebat mereka yang bisa membangun cinta atau
belajar mencintai. Fani nolak dia Ris, fani ngga bisa, Fani ngga ada cinta ke
dia, ngga bisa dipaksakan walau guru yang ngomong.”
Faris tersenyum, mobil mulai berjalan normal lagi. Beberapa saat lagi
mereka akan sampai di rumah Fani.
“Fani kecewa Ris, kebaikan tulus yang Fani berikan ke temen-temen
disalah artikan. Lalu mereka merasa fani menaruh hati pada mereka, padahal
inilah Fani, fani sama kok ke semua orang, fani pengen selalu jadi sahabat yang
baik bagi semua orang”
Jantung Faris kembali berdebar kencang, “apakah kata-kata itu juga bisa
untukku? apakah aku juga terlalu merasa dilebih-lebihkan padahal sejatinya ia
hanya seorang sahabat yang benar-benar baik?” nyalinya kembali menciut, ia
kembali tenggelam dalam jutaan tanda tanya.
“Eh Ris, itu kayanya Bapak deh. Stop di depan ya” fani menunjuk sosok
seseorang yang berdiri di depan komplek. Mobil menepi, Fani dan Faris turun,
berjalan menuju ayah Fani yang sudah menunggu didepan gerbang komplek yang
sudah ditutup tidak bisa dilalui kendaraan.
“Maaf Pa kemalaman, acaranya baru beres jam 10 tadi”
“Ngga apa-apa, namanya juga Tabligh akbar. Terima kasih ya Ris udah
nganterin”
“Iya Ris, makasih ya” ujar Fani.
Setelah pamitan, Faris pulang. sepanjang perjalanan kepalanya dipenuhi
tanda tanya, tak jarang ia mengutuki dirinya sebagai lelaki pengecut. Gagal
lagi ia menumpahkan semua debar, mengatakan semua rasa, menerbitkan semua yang
terpendam.
Sementara Fani tak juga bisa memejamkan mata, kepalanya dipenuhi tanda
tanya. “Bukankah ibunda khadijah juga “mengutarakan” cintanya?, rasanya?.
Tapi apa benar ia merasakan hal yang
sama? Ah aku malu. Namun sampai kapan aku terus menyiksa diriku sepertii ini?
Aku harus melakukan sesuatu” ia kemudian hanyut dalam do’a
“Ya Allah jika ia benar untukku dekatkanlah
ia dengan hatiku
Jiak ia bukan untukku, ridhokanlah aku atas
ketentuanMu
Limpahkan kepadaku kekuatan, kesabaran,
keikhlasan
Dan berikanlah padaku Ya rahman, sebaik-baik
pengganti”
Ia menutup do’anya dengan derai air
mata..
*************
“Hah, ke luar kota? Sampai
kapan?” Fani terbelalak mendengar faris
yang akan dipindah tugaskan sementara ke Palembang.
“katanya sekitar setahun paling cepet Fan, males sebenernya ane juga.
Tapi disana penjualan sedang drop banget, plus ada beberapa pembukaan cabang
baru. Kalau dilihat dari segi karir ini sih bagus, tapi tetep aja ngga enak
rasanya kalau harus jauh dari keluarga dan sahabat-sahabat.”ujar faris lirih
“Oh, kirain seterusnya. Ngga apa-apa atuh, sebentar ini” Fani sudah bisa
mengukir senyumnya
“Iya sih, tadinya kepikiran mau resign aja kalau beneran harus ke
Palembang. Tapi kata pimpinan paling cepet setahun. Pokoknya kalau setahun ngga
ada kemajuan, mau ngga mau ane balik lagi ke Bandung hehe”
“Iya atuh, buat apa karir cemerlang kalau jauh dari keluarga ya”
“Apalagi jauh dari kamu, aku ngga bisa” Faris membatin
“Fani do’ain moga disana baik-baik saja ya, lancer-lancar saja, sukses.
Oh iya ini bukunya Faris, maaf kelamaan pinjemnya”
“ngga apa-apa padahal ngga dibalikin juga, iya makasih do’anya ya Fani,
semoga disini Fani juga sehat dan selalu dalam lindungan Allah”
“aamiin” Fani tersenyum, sementara hatinya diliputi gundah terhebat.
Sahabat yang ia dambakan menjadi pendampingnya itu akan jauh darinya sekarang.
Tapi setidaknya ia telah melakukan sesuatu, yang perlu ia lakukan sekarang
hanyalah duduk-duduk saja di beranda penatian.
***********
Hari berganti, waktu berputar.
Kedua insan yang terbiasa dalam keakraban itu telah jauh terpisahkan sekarang.
Beberapa kali Fani melihat saja bangku kosong yang biasa Faris tempati di kelas
bahasa atau ketika memimpin rapat-rapat kepemudaan. Sementara Faris tenggelam
dalam kesibukannya, arena penyiksaan batinnya hanyalah ketika malam memeluk.
Hatinya diliputi rindu hebat, menghujam-hujam dadanya hingga wajah perempuan
yang ia dambakan sepenuh hatinya itu berputar-putar diatas kepalanya, bahkan
bayangan itu mampu melukis wajahnya di tembok dan langit-langit kamar, batinnya
sungguh tersiksa.
“Alangkah pengecutnya aku, hanya untuk menumpahkan isi hatiku saja aku
tak mampu. Lemah, sangat lemah. Menahan semua tanya dan debar hanya demi
menjaga sebuah persahabatan, karena takut kehilangan semua keakraban?
Kedekatan? Alangkah bodohnya. Bukankah lambat laun juga kita akan terpisahkan
jika nanti ia telah dipinang seseorang? Aku tak boleh lagi terlambat, aku harus
pulang, menyatakan semua isi hati, melamarnya lalu mengakhiri semua degup ini.
Semoga saja sama rasa di hati ini. ‘” Batin Faris bergolak, sudah 6 bulan dan
selama itulah hari demi hari batinnya terus tersiksa. Akhirnya ia memutuskan
pulang sementara untuk melamar Fani, sahabat baik yang telah menjadi pujaan hatinya.
Ia berkemas, besok ia akan pulang
“Aku harus menelpon seseorang !!” Ia tersenyum, lalu menekan nomor-nomor
ke seseorang di Bandung.
********
Sudah 6 bulan, selama itu pula ia menanti kepastian di beranda
penantian. Fani menatap nanar kalender
di dinding kamarnya. Bulan depan usianya
bertambah lagi. Batinnya benar-benar tersiksa, dari teman-teman seangkatannya
tinggal ia yang belum menyempurnakan separuh agamanya. Dalam bahasa yang halus
beberapa kali juga orangtuanya menanyakan kapankah hatinya akan dilabuhkan.
“Ia jelas tidak memilihku, penantian ini sia-sia saja. Bukan aku, bukan
aku..Aku jelas hanya sahabat biasa saja baginya. Ia memang baik, tapi bukankah
ke semua orang ia juga baik? Apa aku terlalu membesar-besarkan perhatiannya
selama ini? Aku salah ternyata.” Fani membatin dalam lirih, dia sudah putus
asa. Ia menatap sebuah CV di meja belajarnya,
”bukan dia yang menuliskan dirinya disana..ah” Fani larut dalam pedih.
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintunya, suara Bu Maryam, pembantu di rumahnya.
“Teh Fani, ada telpon buat Teh fani..”
Tiba-tiba debar……
************
Pagi itu fajar mulai melukis warna, ia terang lebih cepat dari biasanya.
Seketika tersibak semua indah bumi, pun langit ia mulai menggulung gelap dan
mentari mulai menebarkan hangat. Faris menikmati Fajar di teras loteng
kamarnya, semalam ia datang larut sekali, ia belum menceritakan lebih lanjut
niat melamar Fani hari ini ke orang tuanya, hari itu ia bahagia sekali, senyum
tak henti-hentinya terukir di wajahnya. Ia larut dalam kagum pada alam dan
khayal, hari ini berakhirlah semua gundah dan tanya. Panggilan lembut dari
bawah menyadarkannya dari lamunan, ia segera beranjak turun. Di bawah Ibu dan
ayahnya telah menunggu, sementara kakak adiknya yang biasa ikut serta menikmati
teh hangat dan sarapan lebih memilih diam di kamarnya masing-masing, hanya ada
mereka bertiga.
“FANI MAU MENIKAH ??” Faris terbelalak, jantungnya berdebar kencang,
pandangannya tetiba berputar-putar, tak percaya apa yang baru ibunya katakan.
Ia beristighfar, berusaha menenangkan dirinya, ia menunduk. Ibunya berpindah
tempat ke sampingnya, memeluk anaknya itu erat, lalu ia menceritakan semua.
“Setelah kamu menelpon malam itu, ibu sangat senang. Akhirnya kamu mau
nikah juga Ris, Ibu yakin kamu juga sudah waktunya untuk menikah, apalagi waktu
bilang kamu mau melamar Fani, kebahagiaan ibu tambah-tambah lagi. Ibu sangat
sayang ke fani, senang ke Fani. Dia dan keluarga kita kan sudah demikian dekat,
demikian juga keluarga disini sudah saling kenal juga dengan keluarganya, kamu
juga ibu denger diterima baik kalau disana, maka dari itu ibu yakin kalian
sebenarnya saling mencintai, ngga akan ada kendala, hanya tinggal waktunya, dan
akhirnya waktu itupun tiba, akhirnya kamu ingin meminang dia. “ Ibu Faris
menghela nafasnya, lalu melanjutkan ceritanya
“Lalu kemarin sore tiba-tiba Fani datang ke rumah, dia bilang tadi siang
seseorang telah melamarnya. Dia dan keluarganya akhirnya menerima lamaran itu
dan bulan depan pernikahan mereka akan dilangsungkan, dia datang kesini meminta
restu, memohon maaf dan berterima kasih atas segala yang telah ia lakukan dan
kebaikan-kebaikan yang telah ia terima di keluarga ini, ia meminta ibu agar
selalu bisa menganggapnya sebagai anak yang akan tetap disayangi meskipun ia
sudah menikah nantinya. Setelah itu ia mencium tangan ibu, memeluk ibu erat
sekali” Air mata mulai menetes di pelupuk matanya, Pun di mata Faris, ia
berusaha menahannya sekuat tenaga, namun jatuh juga. Hatinya hancur, remuk
redam, menjadi kepingan-kepingan yang berserakan.
“Sabar ya sayang, pasti rencana Allah itu selalu baik, selalu indah.
Pasti dia kan memberikan yang terbaik, ganti yang terbaik, pendamping hidup
yang akan meredakan semua gundah, akan tiba saatnya nanti.” Ibu Faris
memeluknya erat, sementara air mata masih berjatuhan di matanya
“MIntalah pada Allah yang terbaik menurut pandangan-Nya, bukan terbaik
menurut pandangan kita. Kuatlah, sabarlah, banyak-banyaklah meminta pada-Nya”
ayah Faris menimpali, lalu berdiri dan member tanda untuk membiarkan Faris
sendiri.
Faris masih menunduk, kemudian ia menyandarkan tubuhnya di sofa, matanya
masih sembab, ia berusaha menghapus beberapa tetes air mata yang hendak jatuh.
Lalu ia beranjak menuju kamarnya di lantai atas, lalu menjatuhkan badannya ke
tempat tidur, wajahnya menelungkup. Hatinya masih tertinggal di bawah tangga dalam
kepingan-kepingan; hancur.
Hari itu ia hanya diam saja di kamar, tidak melakukan apa-apa, sesekali
ia keluar hanya untuk mengambil wudhu untuk shalat di kamarnya, nyaris tak ada
makanan yang masuk ke perutnya. Piring-piring berisi makanan yang dikirim
ibunya itu hanya tersimpan saja di meja, tak disentuhnya sama sekali.
Selepas Isya ia sudah mulai tenang, dia menemukan tenang di tempat
biasanya; mesjid. Disana ia mengaduh, berdo’a dan akhirnya menemukan tenang
atas segala gundah dan hancur hatinya. Tiba-tiba saja ia ingin menghubungi Fani
untuk sekedar mengucapkan selamat atas kebahagiannya. Cintanya bukan cinta anak
remaja, ia begitu matang dan tulus, hingga kebahagiaan orang yang dicintainya
adalah kebahagiannya juga, bukanlah pepesan kosong belaka, tapi
sebenar-benarnya kalimat yang ia cerna.
Faris mengambil sebuah buku. Tiba-tiba saja ia ingin kembali membaca
buku itu, kemudian menuju sebuah judul Sayap yang tak pernah patah, tulisan
yang ditulis Anis Mata itu benar-benar mampu menggugah dirinya untuk sadar dan
bangkit atas keterpurukannya. Ia berungkali membacanya, meresapinya kemudian
tiba-tiba jiwanya jadi besar
Kalau cinta berawal dan berakhir pada
Allah, maka cinta pada yang lain hanya upaya menunjukan cinta pada-Nya,
pengejawantahan ibadah hati yang paling hakiki: selamanya memberi yang bisa
kita berikan, selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai. Dalam makna
memberi itu posisi kita sangat kuat: kita tak perlu kecewa atau terhina dengan
penolakan, atau lemah dan melankolik saat kasih kandas karena takdir-Nya. Sebab
disini kita justru sedang melakukan sebuah pekerjaan jiwa yang besar dan agung:
mencintai.
Jadi kita hanya patah atau hancur karena
kita lemah. Kita lemah karena posisi jiwa kita salah. Seperti ini: kita
mencintai seseorang, lalu kita menggantungkan harapan kebahagiaan hidup dengan
hidup bersamanya! Maka ketika dia menolak untuk hidup bersama, itu lantas
menjadi sumber kesengsaraan. Kita menderita bukan karena kita mencintai. Tapi
karena kita menggantungkan sumber kebahagiaan kita pada kenyataan bahwa orang
lain mencintai kita?.
Faris sudah bisa mengukir senyum, ia
baru saja belajar satu hal: mencintai tanpa harus memiliki. Ia mengambil telepon genggamnya dan mulai
memilih sebuah nama yang terasa masih menimbulkan getar-getar di hatinya; Fani
“Assalammualaikum..” Suara di sebrang sana benar-benar menggetarkan hati
Fani, ia masih mematung, membisu belum mampu berkata apa-apa. Setelah Faris
mengulang salamnya untuk kali ketiga barulah fani bisa menjawabnya
“Waalaikumsalaam..Faris gimana
kabarnya? sehat? Udah lama ngga ada kabar ya, sombong hehe” Fani berusaha
mencairkan kebekuannya
“yang sombong itu kamu, udah dilamar en mau nikah ngga bilang-bilang.
Udah ngga nganggap sohib lagi ya?”
“Afwan ngedadak, baru kemaren kok. Lagian aku ke rumah kok, kamu nya aja
ngga ada”
“Padahal malemnya itu ane pulang lho, ini udah di Bandung”
“hah, ini lagi di Bandung Ris? Kenapa ngga ngasih kabar. “
“Kan tadinya mau surprise tapinya…eh siapa ikhwan beruntung itu fan?”
“Satria..temen seangkatan dulu di kampus”
“Kok bisa? gimana ceritanya?”
“Dulu kami sama-sama di LDK, aktif di berbagai di kegiatan, tapi ngga
ngeh juga kalau dia diam-diam naruh hati. Sekitar 2 bulan yang lalu aku
didatangi ummi Haryati, beliau mengirimkan sebuah CV lamaran dari Satria, aku
diemin, aku bilang minta waktu mau istikharah dulu. 2 hari yang lalu beliau
nelpon lagi meminta kepastian jawaban…” Fani terdiam, pun Faris, hatinya
seperti kembali tercabik. Lalu Fani melanjutkan cerita
“Fani pikir mungkin ini sudah kehendak Allah, Fani juga teringat
pembicaraan kita tempo hari di mobil tentang belajar mencintai. Sepertinya Fani
bisa, insya Allah berbekal keimanan di hati ini Fani akan belajar, berusaha
mencintai dia, memberikan yang terbaik yang Fani mampu. Insya Allah Fani yakin
Satria pun akan berbuat demikian. Maka atas izin Allah lamaran itupun terjadi,
insya Allah bulan depan kami sepakat melangsungkan pernikahan..”
Tiba-tiba hening, Faris tidak lagi menggenggam hp nya, ia meletakannya dikasur,
membiarkan suara Fani ia dengar melalui loudspeaker hpnya. Kedua tangannya
menutup mulutnya, sesekali matanya terpejam; menahan luka.
“Faris nanti datang ya, Fani mohon dengan sangat. Dan jadi sahabat Fani
terus walau fani nanti sudah menikah, semoga Faris juga dimudahkan,
disegerakan. Nanti kita jadi keluarga yang bersahabat, nanti aku punya temen
baru istri kamu ..dan oh ya, ntar kamu nyumbang nyanyi ya? Aku pengen
didengerin lagunya Maidani ris..Ris hallo Ris??”
“Oh iya Fan, Insya Allah nanti ane pasti pulang, datang ke nikahan kamu.
Udah dulu ya dipanggil dulu ibu. Selamat Ya Fan, semoga berkah, dimudahkan-Nya”
faris sudah tidak mampu lagi mendengar semuanya, ia merebahkan dirinya
di kasur, kemudian ia lempar telpon genggamnya ke tembok hingga hancur
berantakan. Jiwanya belum sekuat yang ia kira.
Di seberang sana Fani menyimpan telpon genggamnya dengan berjuta tanya,
tiba-tiba luka juga menyayat hatinya. Ia coba mengalihkan semuanya dengan dzikir
“Aku telah ridho ya Allah, aku telah rela..sebaik-baik rencana adalah
rencana-Mu, hamba berlindung dari kelemahan hamba. Kuatkan Hamba atas segala
yang telah engkau takdirkan..” .
**************
Keesokan harinya faris sudah ada
lagi di bandara, hari itu juga ia memutuskan untuk secepatnya kembali ke
Palembang untuk larut dalam pekerjaan-pekerjaannya dan belajar melupakan Fani. Sementara Fani pun mulai larut dalam
kesibukannya mempersiapkan pesta pernikahan. Menulis siapa saja yang akan
diundang, mencetak undangan, dan merencanakan berbagai kesiapan-kesiapan
lainnya. Ia juga mulai mendalami ilmu-ilmu berumah tangga dan menjadi istri
yang baik lewat berbagai buku bacaan dan seminar-seminar. Ia hampir telah
melupakan lukanya, dan dihadapannya kini hanya ada Satria, calon imamnya, yang
ia akan belajar, berusaha mencintainya dengan sepenuh hati dan jiwa. Ia sudah
mulai bisa tersenyum.
Sehari menjelang pernikahannya, fani tampak sangat sibuk. Rumahnya
sedang didekor, beberapa orang sibuk memasang panggung dan soundsystem.
Kegiatan di tengah rumah dan dapur pun tak kalah ramainya. Saudara-saudaranya
yang ikut memasukkan souvenir-souvenir ke plastik dan ibu-ibu yang mulai
memasak. Semua undangan telah diantarkan, semua persiapan nyaris telah selesai
dikerjakan, pun hatinya, ia telah memantapkannya, bahkan ia penuhi dengan
berjuta syukur. Akhirnya petunjuk itu datang, sesaat lagi akan sempurna
agamanya, kesendiriannya usai.
Sementara Faris baru saja sampai di rumahnya, tak lama kemudian ia pergi
lagi diantar adiknya membeli hadiah untuk kado pernikahan Fani, sesuatu yang
sangat disukai Fani: buku. Sesampainya kembali di rumah, ia melihat sebuah
undangan berwarna merah marun. Ia melihatnya saja lalu tersenyum, lalu
menyimpannya kembali ditempat semula tanpa membukanya.
Selepas isya ia memasukan buku-buku ke dalam dus lalu membungkusnya
dengan kertas kado, ia memegang satu judul buku yang “berjasa” mengenalkan
mereka dulu.
“Semoga dengan melihat buku ini kamu bisa inget aku terus ya Fan,
sebagai salah satu sahabat baik kamu” Lalu ia memasukan Taman orang-orang jatuh
cinta dan memendam rindunya Ibnul Qoyyim itu. Tiba-tiba seseorang masuk ke
kamar
“Ris beneran mau datang besok? Hehe” Ibunya bertanya, senyum terlukis di
wajahnya
“Ya iya atuh bu, ini udah bela-belain pulang jauh-jauh terus beli kado
buat apa hehe”
“Nah gitu dong, itu baru anak ibu” katanya sambil menepuk-nepuk punggung
Faris
“Gapapa bu, kalo bukan jodohnya mesti gimana lagi, lagian kan Fani emang
sohib Faris. Rasa itumah hanya percik yang timbul dari kedekatan, biasa aja sih
hehe”
“Ýa udah, tapi mau bareng ngga ama keluarga? Trus mau nyumbang lagu
juga?”
“Ngga ah bu kalau nyumbang lagu mah, ngga kuat mental. Biar temen-temen
aja yang nyanyi hehe. Ibu aja duluan, ntar Faris datang sendiri deh pake motor,
mau ke kantor dulu soalnya pagi-pagi.”
“Mobil dipake aja ya ama ibu, kamu hati-hati nanti. Kalo kira-kira ngga
kuat pake motor telpon aja, nanti papa jemput hehe”
“haha lebay ah. Biasa aja ah bu”
“Tapi ibu kok ngrasa sebenernya Fani juga suka ama kamu deh Ris, ngga
tau, feeling seorang ibu aja ini mah. Maaf nih bukannya mau ngungkit-ngungkit,
apa sebelumnya kamu pernah ngomong gitu ke Fani ?”
“Ngga bu, belum pernah, setelah 5 tahun memendam baru kemaren itu berani
mau ngomong, itupun telat hehe. Udah ah bu jangan ngomongin itu terus ya?”
“Iya deh maaf, udah Ibu tidur dulu ya. Inget kamu juga jangan tidur
malem-malem, ntar matanya sayu, dikira nangis semalaman ama orang-orang hehehe”
“ibuuuuuu…”
Selesai membungkus kadonya Faris
teringat sesuatu, ia belum menuliskan ucapan selamatnya di dalam. Ia bongkar
lagi, lalu berusaha menuliskan beberapa kalimat. Tiba-tiba ia menjadi i beku,
tak mampu menuliskan bahkan sekedar ucapan selamat saja.
“aah ngutip puisinya Iqbal aja, dimana ya tuh buku?” faris tiba-tiba
saja teringat buku karya Muhammad Iqbal: Javid Namah, kitab keabadian. Buku
yang dikembalikan Fani sebelum keberangkatannya ke Palembang. Ia menemukannya
diantara deretan buku-buku karya sastra koleksinya, yang tersimpan terpisah
diantara buku-buku yang lain.
“naah ini dia, copas dari sini aja. Ada kata-kata yang cocok nih tentang
cinta” Faris mulai membuka lembar demi lembar buku, mencari halaman yang
dimaksud. Tiba-tiba saja ia menemukan selembar kertas yang terselip
ditengah-tengah buku. Ia membukanya perlahan, jantungnya berdegup kencang..
Dari Fani !!
Assalammualaikum wr wb
Faris makasih ya bukunya, sebelumnya Fani
mau berterima kasih atas semua kebaikan yang kamu berikan ke Fani. Sungguh fani
sangat-sangat senang dan tersanjung atas semua kebaikan kamu, Faris bener-bener
udah jadi sahabat yang baik banget buat Fani.
Ngga kerasa ya udah menginjak 5 tahun
pertemanan kita, dan selama itu kita telah mengisinya dengan berbagai cerita.
Ngga selalu mulus-mulus saja memang, kadang Fani juga sering kesel en marah ke
kamu, tapi itu ngga bisa ngalahin semuanya, kamu tetep aja sabar ngeladenin
sikap Fani yang pemarah dan suka ngga moody-an. Sekali lagi Fani ucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya atas 5 tahun yang berkesan itu.
Namun dalam beberapa tahun terakhir Fani
merasakan hal yang ngga biasa lagi, hal yang berbeda. Ngga tau kenapa, mungkin
ini karena kedekatan kita juga ya, hingga pada akhirnya mungkin Fani jadi
merasa..apa ya, maafkan jika lancang, tapi Fani tidak bisa lagi menahan semua
debar. Maafkan Fani ya jika Fani menyalah artikan semuanya, sebenarnya
Fani..Jatuh cinta ke kamu Ris, Fani benar-benar tersiksa dengan keadaan ini.
Kedekatan kita sejatinya malah menimbulkan getar-getar yang berbeda, Fani
terlalu nyaman dideket Faris. Fani berharap Faris lah yang menjadi pendamping
Fani kelak. Sekali lagi mohon maaf atas kelancangan Fani ini, bahkan Fani
melawan keumuman adab tentang perempuan-perempuan yang memendam cintanya, Fani
tidak tahan lagi, karena ada satu hal yang harus faris tau..
Minggu kemarin, ummi Haryati datang dan
menyodorkan sebuah CV lamaran, dari seseorang yang sebelumnya memang telah Fani
kenal. Beliau kemudian bertemu ibu dan ayah lalu ditanya ada apa, akhirnya ummi
menceritakan maksud ada lamaran itu. Semenjak itu orang tua Fani terus mendesak
agar Fani segera menikah, karena umur Fani yang memang sudah cukup. Fani bingung,
bukan dia yang Fani inginkan, fani pengen pendamping fani adalah kamu Ris. Tapi
Fani ngga bisa menyatakan hal ini secara langsung, fani tidak seberani itu.
Maka dari itu Fani berusaha memberanikan diri lewat baris-baris kata saja.
Tapi Fani ngga tau apa perasaan Faris, apa
hanya sebatas persahabatan saja? Fani mohon jawaban Faris untuk mengirimkan
balasan surat ini andai rasa kita sama. Kalau pun tidak, mohon jangan
membalasnya, cukup diam menjadi jawaban. Sekali lagi mohon maaf atas
kelancangan ini, semoga Allah mengampuni. “Wassalammualaikum wr wb”
Jantung Faris berdebar kencang, nafasnya tersenggal-senggal, ia ingin
berteriak, tapi tangannya segera menutup bibirnya. Hati yang telah utuh itu
kembali hancur berkeping-keping, pecahannya mengoyak mata. Air mata kemudian
perlahan jatuh membasahi tulisan-tulisan yang mulai luntur di kertasnya. Ia
lalu mengutuki dirinya sendiri..
“Jadi dia mempunyai rasa yang sama? Aaaarrgghh Alangkah
bodohnya..alangkah bodohnya aku !! alangkah pengecut dan pecundangnya aku, aku
adalah lelaki paling pecundang di muka bumi ini aaarrggh..” Ia lalu melemparkan
salah satu buku favoritnya itu.
Ia berjalan modar-mandir dikamarnya, beberapa kali ia mengucap Istighfar
dan Asma-Nya untuk menenangkan dirinya, hatinya benar-benar remuk redam
sekarang. Setelah 7 bulan pesan itu baru ia temukan, semuanya telah terlambat
sekarang. Yang ia inginkan sekarang mungkin hanya tebing di ujung langit dimana
ia bisa berteriak sekencang-kencangnya. Tapi ia masih disinari cahaya iman, ia
bersegera mengambil air-air yang disucikan , berwudhu, kemudian shalat.
Setelah memohon kekuatan
kepada-Nya, Faris menjadi sedikit lebih tenang. Di matanya hanya ada Fani dan
Fani. Dia ingin membicarakan sesuatu dengan Fani. Dia ingin menelpon Fani,
untuk yang terakhir kalinya. Setelah mengumpulkan keberanian Ia mengirimkan
sebuah sms..
“Assalammualaikum calon penganten sedang apa? Boleh ga nelpon untuk
terakhir kalinya hehe :D”
Hp fani berbunyi, fani yang sudah
rebahan di kamarnya di temani Rina, kaget mendengar ringtone sms khusus jika
Faris sms. Ia lalu tersenyum dan terpekik senang. Segera ia membalas sms..
“waalaikum salaam..lagi deg-degan hehe, Boleh atuh nelpon, cepet
ya..udah lama ngga ngobrol, pengen didoain ustadz faris nih hehe” tak lama
kemudian faris menelpon
“Lagi deg-degan niyee..ciyeee yang mau pengantenan”
“hehe..faris kamu besok datang kan? Kamu udah di Bandung kan?”
“Udah atuuh, masa ke CS ngga datang hehe”
“Asiik..sama calonnya ya besok datang? Sekalian kenalin ke Fani ya hehe”
“calon dari hongkong, masih gini aja sih Fan..sendirian aja, lagian kalo
kesana berdua kan malu kalo ngamplopnya dikit mah haha”
“haha..iya atuh kalo berdua amplopnya harus double kalo ngga makannya
sepiring aja haha”
“Haha..ngga ngamplop ah, ntar uangnya abis dibeliin make up hehe. Ane
mah ngasih kado donk, kado yang fani seneng deh..”
“Buku kan??”
“Lah kok tau? Udah punya ilmu goib juga sekarang Fan? Haha”
“haha enak aja, kita tuh udah kenal lama banget Ris, 5 tahun..masa ngga
tau hal-hal kaya gitu. Lagian tiap ada apa-apa kamu ngasihnya buku. Ngga pernah
gitu ngasih boneka atau yang lain, bukuu aja. Hampir semua koleksi buku Fani
itu dari kamu hehe”
“Kan ane juga tau senengnya fani, suka baca buku, kan udah 5 tahun nyees
nya hehe”
“Iya, Fani seneeeng banget kalo dikasih buku, yg ngasih buku itu bukan
sekedar ngasih benda, tapi juga ngasih ilmu, ngasih cahaya hehe. Makasih banget
ya Ris atas kebaikan faris selama ini”
“iya gapapa, faris juga seneng kok ngasih buku ke Fani, ngomong-ngomong
tentang buku….. Faris baru nemuin tulisan yang Fani selipin di buku itu,
barusan……”
Tiba-tiba hening, fani seperti kehilangan udara buat dia bernafas, jantungnya
berdegup kencang. Namun ia berhasil mengendalikan dirinya, kemudian bertanya, terbata-bata,
lirih
“Ka..mu ba..ru ba..ca tu..lisan itu?”
“Iya Fan, baru saja..selepas Fani kembaliin, Faris ga meriksa apa-apa, langsung simpen aja di
rak, bodohnya.”
Fani menutup mulutnya dengan tangan, hatinya masih berdebar kencang.
“Trus..?”
“Hancur Fan..hati Faris hancur banget, bodoh banget ane, bodooooh
banget. Kalau Fani mau tau, perasaan ini jauh-jauh lebih besar. Jika Fani baru
merasakannya tahun-tahun terakhir, Faris udah ngerasainnya sejak 5 tahun yang
lalu fan, dan selama itulah Faris pendam perasaan ini, ane jaga. Walaupun ane
tersiksa terus karenanya..”
“Kenapa ngga ngomong?” air mata mulai berjatuhan membasahi pipi Fani
“faris pengecut Fan, Faris pecundang..Faris ngga berani ngomong karena takut kehilangan semua kedekatan kita,
faris benar-benar ngerasa tenang dideket fani, makanya takut kehilangan semua
itu jikalau saja ternyata Fani menganggap kita hanya sahabat saja”
“Kenapa ngga coba ngomong aja, pengecut !!” Fani mulai terisak, Faris
tak mampu lagi mengelurakan sepatah kata. Fani benar, batinnya. Ia memang
pengecut.
“Kenapa buku itu ngga kamu bawa? Bukankah kamu pernah bilang itu buku
favorit kamu? Kamu sering bawa dan sering baca berulang-ulang? Kenapa saat itu
hanya kamu simpan saja?” Fani mulai mencerca Faris dengan pertanyaan, air mata
semakin deras membasahi pipinya.
Faris belum bisa menjawab pertanyaan Fani, ia hanya terus menerus
mengutuki dirinya sendiri. Ia berusaha menjawab dan menenagkan Fani yang sudah
ia dengar terisak-terisak, menangis.
“Mungkin begitu jalannya Fan, kita hanya manusia yang berencana. Pada
akhirnya Dialah yang menentukan segalanya. Keberanian itu terlambat datang
memang dan sayangnya saat itu telah terlambat. Fani tau maksud kepulangan Faris
sebulan yang lalu?...Faris hendak ngelamar Fani, namun terlambat, saat itu Fani
telah menerima lamaran orang lain. Maafkan Faris, fan..”
Fani memutuskan hubungan telpon, ia lalu menangis sejadi-jadinya, Rina
yang sedari tadi mendengar percakapan itu akhirnya bangun, lalu memeluk erat
sahabatnya itu. Tangisan Fani semakin menjadi-jadi di pelukan Rina. Ia berusaha
menenangkan Fani agar tangisannya tidak terdengar keluar kamar dan menimbulkan
kepanikan.
“sudah sayang, ini takdir Allah. Takdir Allah yang terbaik buat Fani,
fani meminta dipilihkan yang terbaik maka Ia mendatangkan yang terbaik
menurut-Nya, bukan menurut Fani. Maka semestinyalah Fani bersyukur kepada
Allah, bukan menyesali ketentuan yang telah terjadi. Fani beruntung, do’a Fani
untuk dipilihkan pendamping terbaik dikabulkan, Allah lho yang memilihkan. Dan
Satria itulah yang Allah pilihkan untuk Fani, Satria insya Allah pria yang
sangat baik, sholeh, bertanggung jawab. Insya Allah Fani akan berbahagia dengan
Satria, ini janji Allah, ini pengabulan do’a-do’a fani. Udah ya, kita tidur yu,
besok hari besar buat Fani.” Rina melepaskan pelukannya, hanya sisa isak-isak
kecil di wajah Fani, matanya memerah pipinya basah oleh air mata. Rina
menyekanya. Lalu merebahkan fani agar tertidur.
Fani berusaha menghentikan tangisnya, ia masih tak percaya atas apa yang
baru saja ia dengar. Ternyata cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Namun
semuanya telah terlambat, ia mencoba mengikhlaskan diri dan terus dalam baik
sangka kepada-nya. Ia lalu berusaha menutupkan matanya seraya tak
henti-hentinya beristighfar, memohon ampun kepada-Nya. Ia lalu mencoba
menghapus semuanya, pembicaraan di telpon tadi dan Faris. mencoba menghapus
semua kenangannya bersama Faris, juga cintanya, juga lukanya, juga tangisnya,
juga harapnya yang tak sampai. Ia lalu mengubah segala bayang itu dengan
Satria, seseorang yang datang dengan senyum terindahnya lalu melamarnya dengan
penuh keberanian. Satria yang seorang
guru di tsanawiyah, satria yang menjadi Pembina sebuah lembaga dakwah kampus,
Satria yang aktivis sebuah gerakan
tarbiyah, satria yang akan menjadi imamnya, Satria yang akan menjadi penyejuk
hati dan jiwanya, Satria yang akan mengisi hari-harinya, Satria..Satria..Satria..lalu
ia terlelap, bersama isak tangis..
Sementara Faris duduk-duduk saja di teras kamarnya, memandangi langit
malam dengan segala kemegahannya. matanya menangkap bulan dan bebintang yang
menggantung itu berjatuhan, hancur, kepingannya mengoyak hati dan
matanya, menderaskan air mata, juga luka.
**************
HARI PERNIKAHAN
Fani menggunakan gaun pengantih putih, jantungnya berdebar kencang,
hatinya tak henti diliput syukur. Disampingnya, satria tengah mengucap
kalimat-kalimat agung di hadapan ayahnya. Akad nikah sedang digelar, tak lama
kemudian pernikahan itu disahkan, semua yang hadir tenggelam dalam rasa syukur
yang mendalam. Air mata bahagia menetes di kedua pasang pengantin yang telah
menyempurnakan agamanya. Selepas menyelesaikan ijab Kabul dan penyerahan mas
kawin Fani mencium tangan satria yang telah menjadi suaminya, imamnya kini. Ia
mencium lembut seraya berkata dalam hatinya. “Engkau adalah suamiku sekarang,
insya Allah aku akan menjadi istri yang shalehah bagimu, aku akan patuh dan
taat kepadamu, akan kuserahkan cintaku, rinduku, degupku, harapku padamu.
Semoga Allah membimbing, menunjuki kita agar senantiasa dalam rahmat-Nya, dalam
cinta-Nya. Semoga kita senantiasa menjadi keluarga yang mencintai dan dicintai
Allah.”
Para tamu undangan mulai menyalami para pengantin yang sedang
berbahagia. Di panggung teman-teman Fani yang tergabung dalam grup Nasyid
Al-ikhwan mulai menghibur para tamu undangan dan pengantin, kali ini tanpa
Faris. Di panggung Irwan mengambil alih vocal pertama,mereka membawakan sebuah
nasyid yang diminta Fani untuk dinyanyikan khusus untuk Satria..
Bila
yang tertulis olehNya engkau yang terpilih untukku
Telah terbuka hati ini menyambut cintamu
Di sini segalanya kan kita mula
Mengukir buaian rindu yang tersimpan dulu
`Tuk menjadi nyata dalam hidup bersama
Izinkan aku `tuk mencintaimu
Menjadi belahan di dalam jiwaku
Ya Allah jadikanlah ia pengantin sejati
Di dalam hidupku…izinkan aku
Wahai yang dicinta telah kurela
Hadirmu temani relung hatiku
Simpanlah jiwaku dalam do’amu
Kan kujaga cintamu
Wahai yang dicinta telah kurela
Hadirmu temani relung hatiku
Simpanlah nafasku dalam hidupmu
Kan kujaga setiamu
Apapun adanya dirimu
Ku `kan coba tuk tetap setia
Begitu pula pada diriku
Terimalah dengan apa adanya
Telah terbuka hati ini menyambut cintamu
Di sini segalanya kan kita mula
Mengukir buaian rindu yang tersimpan dulu
`Tuk menjadi nyata dalam hidup bersama
Izinkan aku `tuk mencintaimu
Menjadi belahan di dalam jiwaku
Ya Allah jadikanlah ia pengantin sejati
Di dalam hidupku…izinkan aku
Wahai yang dicinta telah kurela
Hadirmu temani relung hatiku
Simpanlah jiwaku dalam do’amu
Kan kujaga cintamu
Wahai yang dicinta telah kurela
Hadirmu temani relung hatiku
Simpanlah nafasku dalam hidupmu
Kan kujaga setiamu
Apapun adanya dirimu
Ku `kan coba tuk tetap setia
Begitu pula pada diriku
Terimalah dengan apa adanya
(Mengukir
cinta di belahan jiwa – Maidani)
Satria menatap wajah istrinya, mereka beradu senyum, damai menjalari
hati keduanya. Ia berkata pelan sekali “Terima kasih sayang.” Fani tersenyum,
manis sekali.
Setelah siang tamu undangan yang datang semakin banyak. Para tamu bahkan
harus antri untuk menyalami kedua pengantin di pelaminan yang didirikan diatas
panggung kecil yang didepannya dihiasi taman bunga dan air mancur. Diantara
para tamu yang antri menyalami itu adalah Faris, wajahnya tersenyum melihat
Fani berdiri disana mengenakan gaun pengantin berwarna merah marun,
disampingnya satria menyalami satu demi satu tamu yang hadir. Keduanya melukiskan
kebahagiaan yang mendalam. Keadaan hati faris tak menentu, ada perih disana,
tapi ia juga berbahagia. Ia berbahagia melihat Fani akhirnya menemukan
kebahagiaan sejatinya, matanya menangkap gambar-gambar itu dalam binar dan mata
yang menggenang. Entah genangan apa, mungkin bahagia, mungkin juga perih. Dan
ia semakin mendekati pelaminan tempat pengantin berdiri.
Tibalah saatnya, setelah menyalami orang tua Satria, kini Faris berdiri
di hadapan Satria, lelaki yang telah memenangi pujaan hatinya, hatinya hancur
memang, tapi seketika ia mampu menatanya, jiwanya sudah benar-benar besar
sekarang.
“Barakallahulaka wabaraka alaika, wajamaa bainna humma fii khoiir,
selamat yaa akh, semoga pernikahanya berkah, selalu dalam lindungan dan
petunjuk Allah” Faris lalu memeluk Satria erat sekali, Satria tidak mengerti,
seseorang yang tidak ia kenal memeluknya sebegitu erat. Disampingnya Fani
menundukan kepala, senyum yang sedari tadi menghias wajahnya sirna entah
kemana, ia hanya berusaha menahan agar bulir-bulir air mata yang telah
menggenang dimatanya tidak jatuh.
“heey akhirnya pengantenan juga, selamat ya, sudah sempurna agama.
Jadilah istri yang shalehah, yang baik, yang taat pada suami en segera punya
momongan ya” faris mencairkan kekakuan itu, tapi air mata masih menggenang
dimatanya, belumlah jatuh.
“Ini kadonya, semoga bermanfaat, Barakallah ya Fani, sahabatku yang baik
dan terbaik” mereka saling tatap, untuk terakhir kalinya.
“Terima kasih Faris..semoga Allah memberkahi dan melindungi Faris” Kata
Fani, ia tersenyum, airmata tak jadi jatuh tapi ia sedikit terisak. Di bawah
Rina melihat adegan itu dengan air mata yang membasahi pipinya, ia tak kuasa
melihatnya lagi, lalu pergi ke belakang untuk mengalihkan perhatiannya. Faris
lalu menyalami ayah Fani, dia memeluknya seraya berkata “Cepet nyusul ya,
jangan kelamaan, nanti kalau udah nikah tetep maen kesini,bawa istri, jangan
mutusin silaturahim”
“Siap Pa, insya Allah, mohon do’anya”. Setelah itu ia menyalami ibunya,
ia pun memeluk Faris, erat, tanpa kata. Yang ia dengar hanya sedikit isak, dan
Faris telah mengetahui apa yang hendak dikatakannya.
“Mohon do’anya bu, maafkan Faris selama ini” ia lalu mencium tangan ibu
Fani. Fani berusaha tidak melihat itu, ia tidak ingin airmatanya benar-benar
jatuh hingga menimbulkan pertanyaan dari banyak orang terlebih Satria, ia hanya
berusaha terus tersenyum menyalami satu persatu tamu undangan yang datang.
Faris tidak menuju meja prasmanan, ia langsung pulang. Pada beberapa
teman yang menyapanya ia bilang bahwa ia harus segera pulang ke Palembang
karena keberangkatan pesawat sebentar lagi. Padahal bukan itu alasannya, ia
mendapati hatinya benar-benar rapuh, kata-kata ikhlas dan sabar hanya membasahi
bibirnya, tidak hatinya. Maka dari itu ia bergegas segera pulang.
Gerimis mulai berjatuhan sore itu, tak lama kemudian hujan turun. Dalam
perjalanan pulang itu Faris membuka kaca
helm Half Face nya, membiarkan butir-butir hujan membasahi wajahnya,
menyamarkan air mata yang berjatuhan dari kedua bola matanya..
*******
“Cinta adalah, seberapa pandai
kau menghapus airmata.”
(Helvy Tiana Rosa)
“Selalu begitu. Cinta selalu
membutuhkan kata. Tidak seperti perasaan-perasaan lain, cinta lebih membutuhkan
kata kebih dari apapun.”
(Anis Matta)
Komentar
Posting Komentar