Langsung ke konten utama
     Ada yang nanya, kenapa akhir-akhir tulisan di blog saya jadi seperti "hitam, sesak, kelam" apakah itu gambaran diri saya sekarang? Saya tersenyum saat itu, lalu menjelaskan bahwa semua yang saya tulis tidak selalu menggambarkan isi hati, kebanyakan seperti itu malah.
    Yang saya tulis biasanya hasil pengelanaan saya ke masa lampau, istilahnya adalah: mengenang. Dari kejadian-kejadian yang saya alami dulu, saya kemudian merangkaikannya menjadi kata-kata, lalu masing-masing kalimatnya saya sayapi biar bisa terbang di langit khayal. saya seperti tenggelam dalam lautan nostalgia ketika membacanya, bagaimanapun saya pernah mengalami jatuh cinta, memendam rasa, rindu bahkan pedih. Entah kenapa, tiba-tiba saja ingin menaiki mesin waktu, menyalakan mesinnya, lalu berkelana ke masa-masa lampau itu, lalu mnuliskannya jadi bait-bait kisah.
    Terkadang juga inspirasi tulisan itu datang dari hasil mendengar, atau bahkan mendengar satu patah kata, lalu tiba-tiba saja ingin merangkainya jadi kalimat-kalimat puisi. Ada memang kejadian-kejadian kekinian, tapi itu bisa dihitung dengan jari, sisanya ya itu tadi, kalau ngga perjalanan ke masa lalu berarti lagi dapat inspirasi nulis saja.
     Tapi katanya, kalau pembaca merasakan atau menunjukan, menisbatkan sebuah tulisan itu ke kejadian asli penulisnya berarti penulis itu penulis yang sukses hehe. Pokoknya yang harus digaris bawahi adalah, tak setiap tulisan itu mewakili perasaan, seperti itu. Demikian, terima kasih atas respon dan masukannya :)

Komentar

  1. nah.. bener bangeet..
    nulis itu bukan selalu mewakili perasaan.. tapi emang pengen nulis aja ... *apa pulak -,-

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang debar, deras kata dan hening hujan..

Layar terkembang, kisah kembali dimulai lengkum senyum di ujung senja dan debar yang demikian meraja "Selalu ada berjuta alasan untuk membawamu serta" katamu "Dan malam ini hanya ada aku dengan segudang tanya, dan engkau yang akan memecahkan karang" wajahnya melukis senyum; bimbang. Lalu kita menyusuri malam, berjalan beriring dibawah temaram lampu kota orang-orang lalu lalang, beberapa mengukir tawa sementara kepalaku penuh tanda tanya "apa yang hendak kau tanyakan, duhai?" tatapan mata tak seperti biasanya, aku melihat binar kata-kata berjatuhan dari atas kepala: ia ingin mengatakan sesuatu, tunggulah hingga membuncah sementara bawalah ia menaiki mesin waktu, mengisahkan lampau dimana semua kisah bermula dan terus saja kepala diputari tanda tanya "Duhai..Apa yang hendak engkau katakan?" Ia menjatuhkan tubuhnya ke belakang sofa sesekali matanya memejam sembari berkata sangat pelan "Mengapa tak pernah mati sega

Penantian..

     Seorang lelaki duduk bersama degup, hatinya diliputi debar sementara kepalanya dikelilingi tanda tanya. Waktu telah membuat sang lelaki semakin kalut, tak tenang. Sebuah wajah yang menyebabkan semuanya, mewarnai hatinya dengan semua rasa, debar, rindu, harap, malu.   Entah sampai kapan ia menyerah pada waktu..    Langit begitu terik, berkali-kali Faris mengusap keringat yang menderas di keningnya.   Ac ruangan kelas Bahasa Arab yang ia ikuti seolah mati, tak mampu mengehela panas yang sedari tadi menyiksanya. Namun ia mengacuhkannya, seseorang yang mampu menyejukkan hatinya belum nampak di hadapannya.     “Mana dia ya? Kok belum datang?” berkali-kali Faris melihat ke pintu   disampingnya. Ia menanti kehadiran seseorang yang akhir-akhir ini membuat debarnya jadi tak menentu.     “Akh Faris, bisa mohon perhatiannya sebentar? Materi ini sangat penting untuk tes hiwar pekan depan? “ Ustadz   Hilman menegur Faris yang sedari tadi tidak begitu memperhatikannya. Beberapa tem

Perempuan di balik senja

 Seorang perempuan memandang cermin, lusuh, ia sudah tak mengingat kapan terakhir ia membasuhnya dengan lap basah. Debu-debu dipermukaannya, menampakan wajahnya yang juga lusuh ditelan senja. Dalam cermin itu ia melihat bayangan almanak, tepat dipinggir jendela yang memerah karena pantulan matahari senja. Perempuan beranjak, mendekati almanak “sudah tanggal muda, aku lupa membaliknya” ia bergumam, lalu membalikan lembaran kalender yang telah lima bulan terpampang didinding kamarnya. “ah..minggu depan ternyata tanggal lahirku, bertambah lagi umurku” ia mengusap pipinya; kasar. Ia lalu berjalan, mendekati jendela. Sudah senja, langit memerah megah. Sebentar lagi gelap sempurna menggulung terang. Ia masih disana, kembali jatuh kagum pada senja, tempat semua heningnya berhimpun. Ia tersenyum; satir.. “sudah lagi senja, padahal baru saja kulihat arak awan fajar. Satu persatu warna tersibak, cahaya memancar dari timur, menebar warna, semua yang dilaluinya menjadi i