Langsung ke konten utama

Cinta Gila


    Sebagian orang menyebutnya cinta buta, cinta yang teramat sangat. Hingga melupakan segalanya. Ketidakmungkinan, ketabuan, segala yg buruk. Semuanya jadi tak nampak lagi, tak lagi berarti, buta, pada tahap berikutnya ia mungkin menjelma gila, cinta gila, segala apa yang ia pikirkan, ia harap pada rentang waktu yg dekat hanyalah satu ; orang yang ia cintai. Seperti orang yang menjambak-jambak rambutnya, kemudian berteriak lantang sembari wajah menegadah langit dan mata yg terpejam, menahan tangis.
    Kebanyakan cinta seperti ini ada pada kisah2 cinta yang tak sampai, segalanya menjadi gelap kemudian, dunia seolah menghimpitnya, bahkan mencaci Tuhan mengapa ia benamkan cinta yang hanya pada dirinya, cinta tanpa penyatuan. Penuh tanya ia pada Tuhan tanpa ia memeriksa pandangan yang ia sembarang umbar, kagum yang ia pendam dalam-dalam, cinta yang ia sendiri semai dengan pendekatan2  bahkan diam2 ingin tahu apapun, segalapun apa yang  ia orang dicintainya kerjakan,rasakan,tulis,sukai. Ajaibnya, setelah itu semua ia masih saja menyalahkan Tuhan atas segala pedihnya.
    Cinta itu seumpama benih tanaman, dan kita mempunyai banyak benih ini, terserah kita mau menyemainya dimana. Kita tidak harus selalu menyalahkan langit, memang ada cinta yang tiba2 hadir, dalam, kuat tapi cinta2 seperti itu amat jarang terjadi pada mereka yang membabi buta menyebar benih, semuanya menjadi samar akhirnya., cinta semisal itu tidak hadir dari pandangan yg diumbar kemana-mana, kagum yg murah saja dirasakan, ia seumpama benih yang tetiba saja muncul dari bawah tanah, bahkan tanpa kita menyiramnya air hujan akan menyuburkannya.
     Umumnya jika seseorang menyemai benih di sebuah ladang misalnya, ia akan berusaha menyiram dengan air secukupnya, pupuk dan sebagainya. Jika benih itu tak tumbuh ia akan beranjak, menanam benih di lain tempat, mencoba lagi dari awal. Bedanya dengan orang yang cinta buta bahkan cinta gila adalah ketika ia takjub dan terpesona pada sebuah ladang yang hijau. Secepat kilat ia berlari menujunya, melompati pagar yang menghalanginya, ia kemudian membayangkan untuk mendirikan sebuah pohon yang rindang yang akan menyelamatkannya dari terik yang membakar kulit. Ia kemudian menggali lubangnya dalam2, menanam benih, tidak hanya satu, tapi nyaris semua benih yang ia punya dimasukan ke dalam lubang yg sama, lalu ia menyiramnya dengan air yang banyak berharap benih cepat-cepat tumbuh menjadi pepohon yg rindang.
     Namun harapan tinggal harapan, benih tak jadi tumbuh, ia ditanam di tanah yg salah, di musim yang salah. Namun ia tak terima, ia kemudian mengutuk matahari yang terkadang menghilang di tutup awan, ia mencaci langit yang tak jua menurunkan hujan, ia makin gila. Ia berlari berjauh-jauh kilometer untuk menimba air kemudian menyiramnya lagi di tempat yang sama, begitu, terus menerus, setiap hari. Bahkan ketika malam. Ia tertidur sembari memandangi benih2nya yang  tidak tumbuh sembari terus mengharap besok pagi mentari cerah dan benih telah tumbuh ketika ia membuka mata. Ia jadi buta, jadi gila. Taman yg semula hijau kemudian terlihat gersang bak padang pasir di musim kemarau, mentari yang menghangati terasa bak hawa api neraka. Ia jadi gila, terkadang ia berteriak-teriak atau membentur-benturkan kepalanya ke batu, beberapa mati karenanya, beberapa lagi menjadi lebih gila. Kisah Laila Majnun contohnya.
    Bagi orang2 yang memandang di balik ladang mereka hanya bisa bergumam : “mengapa terlalu mudah engkau menyebar pandangan pada ladang2 yang menghijau indah, mengapa engkau cepat terpesona pada sesuatu yg belum tentu layak bagimu, mengapa engkau tak segera beranjak begitu tahu benihmu tak akan tumbuh, bukan memaksakannya, mengapa engkau..ah aku tak mengerti akan engkau.”
     Begitulah, bermula dari pandang, kagum, kemudian percaya benih bisa tumbuh, lalu tak mau menerima kenyataan hingga akhirnya buta, lalu gila. Lalu katamu kemudian : “aku tak segila itu, hanya kadang2 saja di tepi malam aku melukis wajahnya lekat-lekat, tapi hanya sampai sana, ketika beranjak siang aku kembali melupakan” aku bertanya “ jika kembali berjumpa malam apa engkau akan kembali demikian?” “begitulah” jawabmu… ah engkau menuju gila kawan, mari bersamaku melompati pagar, keluar dari ladang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senja di Palestina..

Senja di palestina, bidadari berbaris rapi menyambut para syuhada, sebagian berebut ruh mereka di tanah-tanah ajaib; Gaza.. Senja di Palestina.. raungan cekaman silih berganti rasa: syahid yang dimimpikan, syurga yang dijanjikan.. Senja di Palestina.. jutaan do'a bersayap cahaya menembus langit, beberapa mengiringinya dengan air mata, juga sesak; hanya itu yg dia bisa Senja di Palestina.. sesaat lagi fajar kemenangan akan tiba, menerbitkan cahaya di timur yang mengangkasa, dari Gaza.. 

Perempuan di balik senja

 Seorang perempuan memandang cermin, lusuh, ia sudah tak mengingat kapan terakhir ia membasuhnya dengan lap basah. Debu-debu dipermukaannya, menampakan wajahnya yang juga lusuh ditelan senja. Dalam cermin itu ia melihat bayangan almanak, tepat dipinggir jendela yang memerah karena pantulan matahari senja. Perempuan beranjak, mendekati almanak “sudah tanggal muda, aku lupa membaliknya” ia bergumam, lalu membalikan lembaran kalender yang telah lima bulan terpampang didinding kamarnya. “ah..minggu depan ternyata tanggal lahirku, bertambah lagi umurku” ia mengusap pipinya; kasar. Ia lalu berjalan, mendekati jendela. Sudah senja, langit memerah megah. Sebentar lagi gelap sempurna menggulung terang. Ia masih disana, kembali jatuh kagum pada senja, tempat semua heningnya berhimpun. Ia tersenyum; satir.. “sudah lagi senja, padahal baru saja kulihat arak awan fajar. Satu persatu warna tersibak, cahaya memancar dari timur, menebar warna, semua yang dilaluinya menjadi i

Tentang debar, deras kata dan hening hujan..

Layar terkembang, kisah kembali dimulai lengkum senyum di ujung senja dan debar yang demikian meraja "Selalu ada berjuta alasan untuk membawamu serta" katamu "Dan malam ini hanya ada aku dengan segudang tanya, dan engkau yang akan memecahkan karang" wajahnya melukis senyum; bimbang. Lalu kita menyusuri malam, berjalan beriring dibawah temaram lampu kota orang-orang lalu lalang, beberapa mengukir tawa sementara kepalaku penuh tanda tanya "apa yang hendak kau tanyakan, duhai?" tatapan mata tak seperti biasanya, aku melihat binar kata-kata berjatuhan dari atas kepala: ia ingin mengatakan sesuatu, tunggulah hingga membuncah sementara bawalah ia menaiki mesin waktu, mengisahkan lampau dimana semua kisah bermula dan terus saja kepala diputari tanda tanya "Duhai..Apa yang hendak engkau katakan?" Ia menjatuhkan tubuhnya ke belakang sofa sesekali matanya memejam sembari berkata sangat pelan "Mengapa tak pernah mati sega