Sebagian orang
menyebutnya cinta buta, cinta yang teramat sangat. Hingga melupakan segalanya.
Ketidakmungkinan, ketabuan, segala yg buruk. Semuanya jadi tak nampak lagi, tak
lagi berarti, buta, pada tahap berikutnya ia mungkin menjelma gila, cinta gila,
segala apa yang ia pikirkan, ia harap pada rentang waktu yg dekat hanyalah satu
; orang yang ia cintai. Seperti orang yang menjambak-jambak rambutnya, kemudian
berteriak lantang sembari wajah menegadah langit dan mata yg terpejam, menahan
tangis.
Kebanyakan cinta
seperti ini ada pada kisah2 cinta yang tak sampai, segalanya menjadi gelap
kemudian, dunia seolah menghimpitnya, bahkan mencaci Tuhan mengapa ia benamkan
cinta yang hanya pada dirinya, cinta tanpa penyatuan. Penuh tanya ia pada Tuhan
tanpa ia memeriksa pandangan yang ia sembarang umbar, kagum yang ia pendam
dalam-dalam, cinta yang ia sendiri semai dengan pendekatan2 bahkan diam2 ingin tahu apapun, segalapun apa
yang ia orang dicintainya
kerjakan,rasakan,tulis,sukai. Ajaibnya, setelah itu semua ia masih saja
menyalahkan Tuhan atas segala pedihnya.
Cinta itu seumpama
benih tanaman, dan kita mempunyai banyak benih ini, terserah kita mau
menyemainya dimana. Kita tidak harus selalu menyalahkan langit, memang ada
cinta yang tiba2 hadir, dalam, kuat tapi cinta2 seperti itu amat jarang terjadi
pada mereka yang membabi buta menyebar benih, semuanya menjadi samar akhirnya.,
cinta semisal itu tidak hadir dari pandangan yg diumbar kemana-mana, kagum yg
murah saja dirasakan, ia seumpama benih yang tetiba saja muncul dari bawah
tanah, bahkan tanpa kita menyiramnya air hujan akan menyuburkannya.
Umumnya jika
seseorang menyemai benih di sebuah ladang misalnya, ia akan berusaha menyiram
dengan air secukupnya, pupuk dan sebagainya. Jika benih itu tak tumbuh ia akan
beranjak, menanam benih di lain tempat, mencoba lagi dari awal. Bedanya dengan
orang yang cinta buta bahkan cinta gila adalah ketika ia takjub dan terpesona
pada sebuah ladang yang hijau. Secepat kilat ia berlari menujunya, melompati
pagar yang menghalanginya, ia kemudian membayangkan untuk mendirikan sebuah
pohon yang rindang yang akan menyelamatkannya dari terik yang membakar kulit.
Ia kemudian menggali lubangnya dalam2, menanam benih, tidak hanya satu, tapi
nyaris semua benih yang ia punya dimasukan ke dalam lubang yg sama, lalu ia
menyiramnya dengan air yang banyak berharap benih cepat-cepat tumbuh menjadi
pepohon yg rindang.
Namun harapan
tinggal harapan, benih tak jadi tumbuh, ia ditanam di tanah yg salah, di musim
yang salah. Namun ia tak terima, ia kemudian mengutuk matahari yang terkadang
menghilang di tutup awan, ia mencaci langit yang tak jua menurunkan hujan, ia
makin gila. Ia berlari berjauh-jauh kilometer untuk menimba air kemudian
menyiramnya lagi di tempat yang sama, begitu, terus menerus, setiap hari.
Bahkan ketika malam. Ia tertidur sembari memandangi benih2nya yang tidak tumbuh sembari terus mengharap besok
pagi mentari cerah dan benih telah tumbuh ketika ia membuka mata. Ia jadi buta,
jadi gila. Taman yg semula hijau kemudian terlihat gersang bak padang pasir di
musim kemarau, mentari yang menghangati terasa bak hawa api neraka. Ia jadi
gila, terkadang ia berteriak-teriak atau membentur-benturkan kepalanya ke batu,
beberapa mati karenanya, beberapa lagi menjadi lebih gila. Kisah Laila Majnun contohnya.
Bagi orang2 yang
memandang di balik ladang mereka hanya bisa bergumam : “mengapa terlalu mudah
engkau menyebar pandangan pada ladang2 yang menghijau indah, mengapa engkau
cepat terpesona pada sesuatu yg belum tentu layak bagimu, mengapa engkau tak
segera beranjak begitu tahu benihmu tak akan tumbuh, bukan memaksakannya,
mengapa engkau..ah aku tak mengerti akan engkau.”
Begitulah,
bermula dari pandang, kagum, kemudian percaya benih bisa tumbuh, lalu tak mau
menerima kenyataan hingga akhirnya buta, lalu gila. Lalu katamu kemudian : “aku
tak segila itu, hanya kadang2 saja di tepi malam aku melukis wajahnya
lekat-lekat, tapi hanya sampai sana, ketika beranjak siang aku kembali
melupakan” aku bertanya “ jika kembali berjumpa malam apa engkau akan kembali
demikian?” “begitulah” jawabmu… ah engkau menuju gila kawan, mari bersamaku
melompati pagar, keluar dari ladang.
Komentar
Posting Komentar