Langsung ke konten utama

Chapter 2 ( Teman-teman )

    Sejak kecil aku berteman dengan 3 orang, yaitu Ujang, Pian dan Ramdhan. ujang ini salah satu yg paling dekat karena rumahnya persis sebelahan, sementara pian dan ramdhan cukup jauh dan mereka ini juga dekatan rumahnya. kami berempat sering main bola bareng, kumpul bareng dan ngerjain pr bareng. diantara kami berempat pian adalah yg paling pintar juga lahir dari keluarga yg jauh lebih berada dari kami bertiga.
    Di kelas 6, aku yg kembali menjadi hendra yg dulu yakni hendra yg pendiam dan ga mau bergaul berusaha membuka diri, ada kebosana sepertinya dari kami berempat untuk terus bareng2, selain itu pian sudah mulai mengikuti berbagai kursus2 untuk menghadapi ebtanas sementara ramdhan sudah mulai menyukai lawan jenis. tinggal aku dan ujang akhirnya, kami berdua sering jadi olokan teman2, beberapa malah sering mengasari kami. kapok dengan kejadian kelas 3 akhirnya aku lebih memilih diam saja di ledek dg berbagai macam ledekan, begitulah aku akhirnya lebih memilih untuk belajar di rumah atau main bola dg ujang, walau kebanyakan aku menghabiskan waktu dlm dunia khayalku sendiri. bermain bola atau basket sendirian di halaman rumah sembari membayangkan bermain di lapangan luasa dg riuh penonton, atau menghabiskan waktu dengan hobi baru : membuat komik.
    Sebenarnya aku dan ujang sudah mulai tergabung dengan sebuah SSB ( sekolah sepak bola ) yg didirikan di kampung. saat itu ketika kami habis bermain bola kami mendengar pa Nandang sudah membuat ssb lokal baru, memberanikan diri kami mencoba mendaftar dan akhirnya diterima. walau pada kenyataannya kami benar2 tdk dilihat, saat itu tubuh kami berdua memang tergolong mini, sehingga kami benar2 tidak mampu bersaing dg yang lain, bahkan selalu kedodoran mengikuti berbagai program latihan. akhirnya ujang menyerah dan memilih mundur sementara aku masih melanjutkan walau tanpa hati, juga kesendirian yg saat itu seolah terus menghantui. saat itu aku merasa benar2 tidak diinginkan , walau tidak bisa disalahkan juga karena aku memang tidak mampu berbuat banyak. mungkin salah satu penyebabnya adalah aju dilatih oleh seseorang yg keras, entahlah jika berhadapan dg seseorang yg keras aku justru tidak bisa berkembang, aku malah takut, menghindar. sama ketika pertama belajar Al-qur'an, karena mendapati guru yg galak akhirnya aku malah jd ga berkembang, melempen hingga akhirnya males ngaji.
    yang membuat aku tetap semangat mungkin karena ibu yg begitu perhatian dan sayang. setelah kejadian tempo dulu itu aku merasakan beliau lebih menyayangi aku dibanding ke 3 saudaraku yg lain. saat itu pulang beliau mengirimkan orderan sepatu, ibu membawa sepasang sepatu bola baru dan baju persib, kesukaanku. aku begitu bahagia saat itu, kemudian termotivasi untuk menunjukan kemampuanku dan tdk mengecewakannya. sayang saat itu aku belum mampu juga, waktu ibu menonton pertandinganku ia harus kecewa karena pada menit ke 20 aku sudah harus keluar diganti pemain lain karena bermain buruk. hal itu terus membuat pikiranku terganggu, akhirnya aku mulai melatih diri sendiri, sepulang sekolah, di tengah bolong. aku meninggalkan kebiasaan baruku waktu itu, tidur siang dengan lari keliling komplek. setiap hari, pada puncak terik, aku juga melatih diri dengan bermaon bola tenis, saat itu aku berfikir aku harus terbiasa menaklukan bola sekecil ini agar bola sepak jd lebih mudah. di teras rumah, pada tembok aku mulai melatih diri, menendang-nendang hingga akhirnya terbiasa dan mampu menaklukan bola tenis. walau beberapa teman yg melihatnya malah mencibir sinis bahkan menertawakanku yg dianggapnya stres karena gagal masuk tim inti.
    Suatu saat, Ramdhan datang dan memberi tahu bahwa di kampungnya ( disebelah kampungku ) dibuat ssb baru, Palber fc namanya, bagusnya nih ssb terafiliasi ke Persib dan merupakan anggita resmi Persib. saat itu aku berfikir untuk pindah, tapi aku ragu karena aku ngga pede dg kemampuanku. tapi karena rasa penasaranku aku datang juga ketika mereka ada pertandingan persahabatan, kebetulan lapangan tempat mereka berlatih dan bermain sama dengan lapangan bola yg biasa aku pakai, di belakang rumah. ternyata yg punya ssb itu salah satu kenalan ayah, dia pun mengenalku dg baik karena katanya waktu kecil aku sering dibawa main kerumahnya. tanpa tendeng aling2 Pa Nendih ( pemilik palber fc ) menyuruh aku main, ngebantu timnya karena saat itu dia kekurangan pemain, aku mau lalu pulang kerumah mengambil sepatu kemudian memakai seragam palber fc untuk pertama kalinya. aku ga mengenal sama sekali tim, sebelum pertandingan hanya ada pengarahan singkat, aku ditempatkan sbg gelandang tengah.
    di pinggir lapang aku melihat ibu yg rupanya mengikuti waktu aku mengambil sepatu bola yg sudah lama tdk dipakai. sementara itu beberapa teman2 di kampung malah mencibir dan meneriakan yel2 menghinaku, entah mana yg kemudian memotivasiku, pada pertandingan itu aku mencetak 7 gol dalam kemenangan telak 7-0. Pa Nendih sangat senang, wajahnya sangat sumringah, ia kemudian menawariku untuk pindah ke klub nya, gratis bahkan dibayar. aku sangat senang, tanpa pikir panjang aku mengiyakan, sejak saat itu resmilah aku menjadi pemain palber fc, tim tetangga saingan family fc tempatku sebelumnya.
    yg ga disangka itu mungkin efeknya, aku kemudian dikucilkan orang2 sekampung. luar biasa fanatisme mereka pada bola , tapi aku justru merasa aneh. teman sebaya, orang tua semua mencibirku, mengucilkanku, bahkan dlm acara2 karang taruna pun aku tdk pernah diajak, aku dianggap pengkhianat karena menyebrang ke klub tetangga. akhirnya temanku yg tersisa hanya mereka berempat, terlebih ujang, yg selalu menjadi kawan baikku, tak peduli apa yg terjadi, ia selalu jadi sahabat yg baik.
    Menjelang ebtanas aku minta izin untuk vakum sementara dari klub, aku harus fokus. nilai2 akhir itu tdk begitu bagus, apalagi pelajaran matematika, sangat buruk. aku ga mau membebani orang tua jika aku harus gagal dan masuk smp swasta yg biayanya mahal, apalagi dlm waktu yg bersamaan kakak juga harus masuk ke sma. akhirnya aku pun kembali lagi dlm kesendirian, di kamar yg sempit dan kecil, aku belajar lebih giat dari biasanya. hasil ebatanas pun akhirnya keluar, saat itu aku dapat Nem 37, sebuah nilai yg lumayan bagus walau ngga cukup aman untuk masuk ke sekolah favorit. Pian saat itu dpt nem 40, ramdhan 35, sementara ujang 32. kami berempat bingung, karena sudah pasti kami ga bisa bareng2 lagi mendaftar ke sekolah yg sama, apalagi aku, saat itu aku mengincar smpn 2, salah satu sekolah favorit, namun konsekuensi jika gagal diterima adalah akau harus ke swasta, aku mencari aman, akhirnya mendaftar ke smp2 dayeuhkolot, sekolah dekat rumah. ramdhan dan ujang pun sama2 mendaftar kesana, sementara pian mendaftar ke salah satu smp favorit smp margahayu 1 bandung.
     Pian akhirnya diterima disana, aku dan ramdhan juga, sayang ujang gagal masuk, nem nya terlalu kecil. saat itu aku ngga terlalu senang masuk ke sekolah ini setelah tahu kalau smp 2 bdg batas nem terendahnya adalah 36, aku bs masuk saat itu sebenarnya. dan akhirnya kami pun berpisah, bersiap menghadapi dunia baru, kawan2 baru dan petualangan2 baru, dunia smp.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senja di Palestina..

Senja di palestina, bidadari berbaris rapi menyambut para syuhada, sebagian berebut ruh mereka di tanah-tanah ajaib; Gaza.. Senja di Palestina.. raungan cekaman silih berganti rasa: syahid yang dimimpikan, syurga yang dijanjikan.. Senja di Palestina.. jutaan do'a bersayap cahaya menembus langit, beberapa mengiringinya dengan air mata, juga sesak; hanya itu yg dia bisa Senja di Palestina.. sesaat lagi fajar kemenangan akan tiba, menerbitkan cahaya di timur yang mengangkasa, dari Gaza.. 

Perempuan di balik senja

 Seorang perempuan memandang cermin, lusuh, ia sudah tak mengingat kapan terakhir ia membasuhnya dengan lap basah. Debu-debu dipermukaannya, menampakan wajahnya yang juga lusuh ditelan senja. Dalam cermin itu ia melihat bayangan almanak, tepat dipinggir jendela yang memerah karena pantulan matahari senja. Perempuan beranjak, mendekati almanak “sudah tanggal muda, aku lupa membaliknya” ia bergumam, lalu membalikan lembaran kalender yang telah lima bulan terpampang didinding kamarnya. “ah..minggu depan ternyata tanggal lahirku, bertambah lagi umurku” ia mengusap pipinya; kasar. Ia lalu berjalan, mendekati jendela. Sudah senja, langit memerah megah. Sebentar lagi gelap sempurna menggulung terang. Ia masih disana, kembali jatuh kagum pada senja, tempat semua heningnya berhimpun. Ia tersenyum; satir.. “sudah lagi senja, padahal baru saja kulihat arak awan fajar. Satu persatu warna tersibak, cahaya memancar dari timur, menebar warna, semua yang dilaluinya menjadi i

Tentang debar, deras kata dan hening hujan..

Layar terkembang, kisah kembali dimulai lengkum senyum di ujung senja dan debar yang demikian meraja "Selalu ada berjuta alasan untuk membawamu serta" katamu "Dan malam ini hanya ada aku dengan segudang tanya, dan engkau yang akan memecahkan karang" wajahnya melukis senyum; bimbang. Lalu kita menyusuri malam, berjalan beriring dibawah temaram lampu kota orang-orang lalu lalang, beberapa mengukir tawa sementara kepalaku penuh tanda tanya "apa yang hendak kau tanyakan, duhai?" tatapan mata tak seperti biasanya, aku melihat binar kata-kata berjatuhan dari atas kepala: ia ingin mengatakan sesuatu, tunggulah hingga membuncah sementara bawalah ia menaiki mesin waktu, mengisahkan lampau dimana semua kisah bermula dan terus saja kepala diputari tanda tanya "Duhai..Apa yang hendak engkau katakan?" Ia menjatuhkan tubuhnya ke belakang sofa sesekali matanya memejam sembari berkata sangat pelan "Mengapa tak pernah mati sega