Langsung ke konten utama

Tsiqah

    beberapa orang tergerus zaman, ia merubah segala hal agar zaman yang ia sebut telah berubah itu menyambutnya dengan senyum mesra seraya berkata "selamat datang, kalian bagianku sekarang". maka mereka menanggalkan kebiasaan-kebiasaannya, gaya berbicara, berpakaian, bahkan akidah. Sebagian menjualnya agar di gerbang pemeriksaan zaman tubuhnya tidak perlu di scanner dan tasnya tidak diperiksa sampai detil, ke dalam-dalamnya.
    Beberapa juga mengeluhkan gigi-gigi gerahamnya yang mulai berjatuhan karena tak kuat lagi menggigit aqidahnya "zaman sudah terlalu edan" katanya menyalahkan zaman bukan cermin yang menampakan buram wajahnya. "zaman ini" katanya, "iman kita benar-benar diuji, fitnah, penindasan, penghinaan telah benar2 menyiksa kita sebagai umat" wajahnya meluruhkan duka. hatinya diliputi duka mendalam merasa dialah umat yang paling berat diuji, paling buram masa hidupnya, paling hebat ujian imannya.
    Necis? mungkin mereka seharusnya melihat ke masa yang jauh sebelum merasa sebagai umat paling tertindas. merasaikah mereka ditimpa batu panas di dadanya? dikuliti kulit kepalanya? dibelah kepalanya jadi dua bagian? dipisahkan kepala dan anggota badannya? direbus dalam air yang sangat mendidih? dipersaksikan pembantaian keluarganya di depan matanya?. Umat-umat terdahulu merasakan itu semua, merasakan betapa beratnya menahan aqidah agar tetap di dada.
    Membandingkan keduanya mungkin tidaklah elok, tapi itulah yang terjadi. jangan sampai kita-kita yang katanya hidup di zaman penuh penindasan ini tidak melihat akar sejarah agamanya sendiri yang selalu saja dilingkari dengan berbagai penindasan. bedanya umat-umat terdahulu mungkin merasakan derita yang jauh lebih lalu kita menisbatkan diri pada zaman ; kita hidup di zaman yang mengerikan ?
    Mungkin kita sesekali harus melihat diri di balik bening sungai, atau kaca, atau di balik bukit. bukankah begitu banyak kemudahan bagi dakwah di zaman ini? yang mengatakan tidak, mungkin mereka orang-orang yang hidup di goa-goa gunung, mereka menghangatkan diri dengan tumpukan kayu dari ranting yang ditunggu jatuh. Dakwah di zaman ini sungguh bagai bebintang di cerah malam, silahkan hitung berjuta mata yang memandangnya bersamaan, jatuh terkagum.
   yang terpenting kemudian adalah tidak menyalahkan zaman atas apa yang terjadi pada umat, bukankah kita sendiri bagian dari umat?dan zaman adalah bagaimana umat itu mengisinya, memandangnya, menilainya. kita nikmati saja berbagai tantangan yang "tidak seberapa" dibanding umat-umat terdahulu merasakannya pun berbagai kemudahan yang umat dahulu tidak merasakannya.
   Berhentilah menjerit-jerit meratapi nasib, merasa sebagai umat paling tertindas dan didzhalimi sepanjang sejarah. genggam saja keimanan dengan kedua tangan, geraham hingga nyawa lepas dari badan. jangan cengeng, jangan apatis, jangan mudah menyerah. nikmati saja..

"wahai Dzat yang membolak-balikan hati, tetapkanlah hati kami dalam agama-Mu"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senja di Palestina..

Senja di palestina, bidadari berbaris rapi menyambut para syuhada, sebagian berebut ruh mereka di tanah-tanah ajaib; Gaza.. Senja di Palestina.. raungan cekaman silih berganti rasa: syahid yang dimimpikan, syurga yang dijanjikan.. Senja di Palestina.. jutaan do'a bersayap cahaya menembus langit, beberapa mengiringinya dengan air mata, juga sesak; hanya itu yg dia bisa Senja di Palestina.. sesaat lagi fajar kemenangan akan tiba, menerbitkan cahaya di timur yang mengangkasa, dari Gaza.. 

Perempuan di balik senja

 Seorang perempuan memandang cermin, lusuh, ia sudah tak mengingat kapan terakhir ia membasuhnya dengan lap basah. Debu-debu dipermukaannya, menampakan wajahnya yang juga lusuh ditelan senja. Dalam cermin itu ia melihat bayangan almanak, tepat dipinggir jendela yang memerah karena pantulan matahari senja. Perempuan beranjak, mendekati almanak “sudah tanggal muda, aku lupa membaliknya” ia bergumam, lalu membalikan lembaran kalender yang telah lima bulan terpampang didinding kamarnya. “ah..minggu depan ternyata tanggal lahirku, bertambah lagi umurku” ia mengusap pipinya; kasar. Ia lalu berjalan, mendekati jendela. Sudah senja, langit memerah megah. Sebentar lagi gelap sempurna menggulung terang. Ia masih disana, kembali jatuh kagum pada senja, tempat semua heningnya berhimpun. Ia tersenyum; satir.. “sudah lagi senja, padahal baru saja kulihat arak awan fajar. Satu persatu warna tersibak, cahaya memancar dari timur, menebar warna, semua yang dilaluinya menjadi i

Tentang debar, deras kata dan hening hujan..

Layar terkembang, kisah kembali dimulai lengkum senyum di ujung senja dan debar yang demikian meraja "Selalu ada berjuta alasan untuk membawamu serta" katamu "Dan malam ini hanya ada aku dengan segudang tanya, dan engkau yang akan memecahkan karang" wajahnya melukis senyum; bimbang. Lalu kita menyusuri malam, berjalan beriring dibawah temaram lampu kota orang-orang lalu lalang, beberapa mengukir tawa sementara kepalaku penuh tanda tanya "apa yang hendak kau tanyakan, duhai?" tatapan mata tak seperti biasanya, aku melihat binar kata-kata berjatuhan dari atas kepala: ia ingin mengatakan sesuatu, tunggulah hingga membuncah sementara bawalah ia menaiki mesin waktu, mengisahkan lampau dimana semua kisah bermula dan terus saja kepala diputari tanda tanya "Duhai..Apa yang hendak engkau katakan?" Ia menjatuhkan tubuhnya ke belakang sofa sesekali matanya memejam sembari berkata sangat pelan "Mengapa tak pernah mati sega