Langsung ke konten utama

Degradasi...

 KH. Rahmat abdullah

Mungkin saja hari ini kita adalah tanah yang berdiri di persimpangan sungai.
Pelan, bongkah-bongkah jiwa rontok, meski air tidak terlalu kuat menerjang.
Bahkan ia menyapa dengan senyum sumringah, tetapi tubuhmu, jiwamu mengurus.
Kebaikanmu terkubur dan dibawa arus, entah kemana.
Engkau bukan tercipta sebagai bongkah tanah yang kaku, aku juga.
Mari, sebelum waktu kita untuk menabur kebaikan terhenti,
rontok terbawa ke muara yang tidak kita kenal.
Kita hentikan ketepekuran pesimis, atau ketengadahan angkuh.
Menjadi ketepekuran perenungan, dan ketengadahan semangat,
cerminan jiwa yang masih percaya bisa bangun.
Ah, manusia mana yang belum pernah merasa terpuruk, jatuh hingga ‘pingsan’.
Toh, kita manusia, manusia yang tidak pernah diberikan atribut kesempurnaan.
Kesempurnaan itu adalah molekul dalam pencarian, bukan titik inti manusia.
Kitalah penulis puisi berjudul degradasi,
saat kita larut dalam mengeluh tanpa sebuah upaya mencari jalan, menelusuri jalan yang pekat.
Mari membawa obor-obor yang memadai sehingga mereka teriak, “oh disana ternyata ada jalan.”
Bukan satu hal yang penting nama kita tercatat disana, bahwa jalan ini tertemukan olehku.
Bukan. Para pahlawan tidak pernah arahkan mata hatinya untuk tujuan itu, kau pasti tahu itu.
Kita adalah pahlawan, untuk apapun yang kita dedikasikan.
Bukan orientasi. Bukan nama, hanya saja agar kelak mereka teriak girang, “oh mereka tidak ajarkan tentang keindahan syurga dunia, tetapi kejujuran bahwa dunia adalah tempat keringat juang tumpah” Kita, bukan bongkah tanah di tepi sungai… yang hanya diam oleh belaian lembut kepalsuan, lalu tenggelam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senja di Palestina..

Senja di palestina, bidadari berbaris rapi menyambut para syuhada, sebagian berebut ruh mereka di tanah-tanah ajaib; Gaza.. Senja di Palestina.. raungan cekaman silih berganti rasa: syahid yang dimimpikan, syurga yang dijanjikan.. Senja di Palestina.. jutaan do'a bersayap cahaya menembus langit, beberapa mengiringinya dengan air mata, juga sesak; hanya itu yg dia bisa Senja di Palestina.. sesaat lagi fajar kemenangan akan tiba, menerbitkan cahaya di timur yang mengangkasa, dari Gaza.. 

Perempuan di balik senja

 Seorang perempuan memandang cermin, lusuh, ia sudah tak mengingat kapan terakhir ia membasuhnya dengan lap basah. Debu-debu dipermukaannya, menampakan wajahnya yang juga lusuh ditelan senja. Dalam cermin itu ia melihat bayangan almanak, tepat dipinggir jendela yang memerah karena pantulan matahari senja. Perempuan beranjak, mendekati almanak “sudah tanggal muda, aku lupa membaliknya” ia bergumam, lalu membalikan lembaran kalender yang telah lima bulan terpampang didinding kamarnya. “ah..minggu depan ternyata tanggal lahirku, bertambah lagi umurku” ia mengusap pipinya; kasar. Ia lalu berjalan, mendekati jendela. Sudah senja, langit memerah megah. Sebentar lagi gelap sempurna menggulung terang. Ia masih disana, kembali jatuh kagum pada senja, tempat semua heningnya berhimpun. Ia tersenyum; satir.. “sudah lagi senja, padahal baru saja kulihat arak awan fajar. Satu persatu warna tersibak, cahaya memancar dari timur, menebar warna, semua yang dilaluinya menjadi i

Tentang debar, deras kata dan hening hujan..

Layar terkembang, kisah kembali dimulai lengkum senyum di ujung senja dan debar yang demikian meraja "Selalu ada berjuta alasan untuk membawamu serta" katamu "Dan malam ini hanya ada aku dengan segudang tanya, dan engkau yang akan memecahkan karang" wajahnya melukis senyum; bimbang. Lalu kita menyusuri malam, berjalan beriring dibawah temaram lampu kota orang-orang lalu lalang, beberapa mengukir tawa sementara kepalaku penuh tanda tanya "apa yang hendak kau tanyakan, duhai?" tatapan mata tak seperti biasanya, aku melihat binar kata-kata berjatuhan dari atas kepala: ia ingin mengatakan sesuatu, tunggulah hingga membuncah sementara bawalah ia menaiki mesin waktu, mengisahkan lampau dimana semua kisah bermula dan terus saja kepala diputari tanda tanya "Duhai..Apa yang hendak engkau katakan?" Ia menjatuhkan tubuhnya ke belakang sofa sesekali matanya memejam sembari berkata sangat pelan "Mengapa tak pernah mati sega