kemarin kita kembali berkisah, bertemu wajah, menumpah rindu yang entah mengapa menjadi sangat tabu. Lalu kita kembali berbagi cerita, tentang bumi, langit dan segalapun yang membuat wajah kita merona merah atau larut dalam tawa yang menderai senang, sembari sesekali kita mencuri pandang, menatap wajah yang entah mengapa mampu begitu menentramkan, meneduhkan jiwa, sekaligus melahirkan lara : ah wajahmu takkan kumiliki selamanya.
Kita selalu sadar, masing-masing dari kita sangatlah faham kita selamanya takkan mampu bersama, menggagahi malam bersama riang tawa, kisah yang dibagi cerita juga tangan yang saling menggenggam erat, kita takkan pernah disana, kita sadar, kita faham. Namun sehari itu saja kita menumpah semuanya, pada wajah yang biasa tersamar dalam bayang. wajah yang senantiasa hadir saat malam menjelang, atau wajah yang selalu datang saat mata mulai terpejam. saat itu semuanya tertumpahkan, yang kita lihat adalah wajah2 nyata bukan lagi samar pandang bayang yang acapkali membuat dada kita nyeri.
Awalnya semacam kaku, namun kita selalu bisa kembali kesana : dalam riang tawa dan kisah yang seolah tak habis untuk dibagi bersama. Ah mungkin kita merasai pelangi setelah hujan yah, pada tanah yang merindu hujan dapat kita cium wangi tanah juga bunga, pun pelangi menjadikan semuanya sempurna, indah menentramkan mata.
namun kita kembali harus menapak bumi, kita harus berhenti ( lagi ) mengepak sayap, turun setelah menjelajah luas langit, bermain bersama di kumpulan awan dan cerah pelangi, kita kembali kesana : menapak bumi. Kita kembali lagi tersadar kisah kita hanyalah segores awan yang membentuk wajah, tak lama angin meniupnya untuk kembali terpencar tak jelas bentuk, seperti hati yang kembali remuk ?
lalu kita mengembangkan senyum, saling menatap pandang dalam malu lalu kembali tersadar kita harus berpisah lagi, berkisah sendiri-sendiri lagi, manabui rindu2 lagi juga enggan, segan, malu. ah ( aku ) kembali remuk mungkin, walau setengah hati tak henti2nya berkata : "bangunlah, pergilah, berlalulah". Aku menyebutnya garis takdir, kita tidak ( belum ) boleh saling melupakan,terpisahkan. Namun juga kita harus menempuh garis takdir yang lain untuk segera saling melupakan , memisahkan. Selamat tinggal lagi, bintang.
Kita selalu sadar, masing-masing dari kita sangatlah faham kita selamanya takkan mampu bersama, menggagahi malam bersama riang tawa, kisah yang dibagi cerita juga tangan yang saling menggenggam erat, kita takkan pernah disana, kita sadar, kita faham. Namun sehari itu saja kita menumpah semuanya, pada wajah yang biasa tersamar dalam bayang. wajah yang senantiasa hadir saat malam menjelang, atau wajah yang selalu datang saat mata mulai terpejam. saat itu semuanya tertumpahkan, yang kita lihat adalah wajah2 nyata bukan lagi samar pandang bayang yang acapkali membuat dada kita nyeri.
Awalnya semacam kaku, namun kita selalu bisa kembali kesana : dalam riang tawa dan kisah yang seolah tak habis untuk dibagi bersama. Ah mungkin kita merasai pelangi setelah hujan yah, pada tanah yang merindu hujan dapat kita cium wangi tanah juga bunga, pun pelangi menjadikan semuanya sempurna, indah menentramkan mata.
namun kita kembali harus menapak bumi, kita harus berhenti ( lagi ) mengepak sayap, turun setelah menjelajah luas langit, bermain bersama di kumpulan awan dan cerah pelangi, kita kembali kesana : menapak bumi. Kita kembali lagi tersadar kisah kita hanyalah segores awan yang membentuk wajah, tak lama angin meniupnya untuk kembali terpencar tak jelas bentuk, seperti hati yang kembali remuk ?
lalu kita mengembangkan senyum, saling menatap pandang dalam malu lalu kembali tersadar kita harus berpisah lagi, berkisah sendiri-sendiri lagi, manabui rindu2 lagi juga enggan, segan, malu. ah ( aku ) kembali remuk mungkin, walau setengah hati tak henti2nya berkata : "bangunlah, pergilah, berlalulah". Aku menyebutnya garis takdir, kita tidak ( belum ) boleh saling melupakan,terpisahkan. Namun juga kita harus menempuh garis takdir yang lain untuk segera saling melupakan , memisahkan. Selamat tinggal lagi, bintang.
Komentar
Posting Komentar