Tentang patah hati, cinta yg tak terbalas atau kasih yg tak
sampai, mari kita simak tulisan Anis Matta berikut :
“Mari kita bicara
tentang orang2 patah hati, atau kasihnya tak sampai, atau cintanya tertolak.
Seperti sayap2 Gibran yg patah, atau kisah
kasih Zainuddin dan Haryati yg kandas ketika kapal Vanderwicjk tenggelam. Atau
cinta Qais dan Laila yg membuat mereka ‘majnun’, lalu mati. Atau, jangan2 ini
cerita tentang cintamu sendiri. Yg kandas dihempas takdir, atau layu tak
berbalas.
Itu cerita yg
digali dari mata air, air mata.dunia tidak merah jambu disana. Hanya Qais yg
telah majnun dan meratap di tengah gurun kenestapaan sembari memanggil
burung-burung :
O burung, adakah
yang mau meminjamkan sayap? Aku ingin
terbang menjemput sang kekasih hati
Mari kita ikut
berbela sungkawa untuk mereka. Mereka orang2 baik yg perlu dikasihani. Atau
jika mereka adalah kamu sendiri, maka terimalah ucapan belasungkawaku, dan
belajarlah mengasihani dirimu sendiri.
Di alam jiwa,
sesungguhnya sayap cinta itu tak pernah patah. Kasih selalu ada disana. “
apabila ada cinta di hati yg satu, pasti ada cinta di hati yg lain”. Kata Rumi,
“sebab tangan yg satu tidak akan bisa bertepuk tanpa tangan yang lain”. Mungkin
Rumi bercerita tentang apa yg seharusnya, sementara kita menyaksikan fakta
lain.
Kalau cinta
berawal dan berakhir pada Allah, maka cinta pada yg lain hanya upaya menunjukan
cinta pada-Nya. Pengejawantahan ibadah hati yg paling hakiki : selamanya memberi
yang bisa kita berikan, selamanya membahagiakan orang2 yg kita cintai. Dalam
makna memberi itu posisi kita sangat kuat : kita tak perlu kecewa atau terhina
dg penolakan, atau lemah dan melankolik saat kasih kandas karena takdir-Nya.
Sebab disini kita justru sedang melakukan sebuah “pekerjaan jiwa” yg besar dan
agung : Mencintai.
Ketika kasih tak
sampai, atau uluran tangan cinta tertolak, yg sesungguhnya terjadi hanyalah
“kesempatan memberi’ yg lewat. Hanya itu. Setiap saat kesempatan semacam itu
dapat terulang selama kita memiliki cinta, memiliki “sesuatu” yg dapat kita
berikan, maka persoalan penolakan atau ketidaksampaian jadi tidak relevan. Ini
hanya murni masalah waktu. Para pecinta sejati selamanya hanya bertanya :
:apakah yg akan kuberikan?” tentang kpd “siapa” sesuatu itu diberikan, itu
menjadi sekunder.
Jadi kita patah
atau hancur hanya karena kita lemah. Kita lemah karena posisi jiwa kita salah.
Seperti ini : kita mencintai seseorang, lalu kita menggantungkan harapan
kebahagiaan hidup dg hidup bersamanya ! maka ketika dia menolak untuk hidup
bersama, itu lantas menjadi sumber kesengsaraan, kita menderita bukan karena
kita mencintai. Tapi karena kita menggantungkan sumber kebahagiaan kita pada
kenyataan bahwa orang lain mencintai kita? “ ( M. Anis Matta – Serial Cinta :
Sayap yg tak pernah patah )
Maka tetaplah
mencintai tanpa harus selalu memiliki, tetaplah mencintai tanpa mesti bergumul
raga, tetaplah mencintai tanpa perlu mata saling menatap, tangan saling
memegang erat dan senyum menghiasi wajah. Maka tetaplah mencintai tanpa harus
menjadi benci dan luka hati ketika tak bisa bersama, kebersamaan hanyalah masa
waktu, pun perpisahan, lambat laun ia akan datang jua. Jika tak sekarang maka
takdir kematian yg akan merenggutnya, kecuali cinta, ia akan selamanya. Selamat
mencintai..
Komentar
Posting Komentar