Langsung ke konten utama

Bumi, Langit, Bebintang.. ( Chapter 1, masa kecil )

    langit saat itu dalam puncak terik, membakar siapapun yang berani melawannya, ia kirimkan juga debu yang sungguh akan memerah mata karenanya. kebanyakan orang2 akan memilih menepi saja dari terik itu, teduh rumah atau kantor tetntunya jauh lebih baik daripada harus menghadapi puncak terik seperti itu.
    tapi tidak bagi aku dan beberapa teman yg lain, kami mengejek matahari. sambil ditemani gelak tawa kami tdk merasakan susah sedikitpun karena panas, kami tetap saja bermain bola seperti biasanya walau lapangan jadi penuh debu saat itu. ya seperti biasanya bada pulang sekolah aku dan beberapa teman lain bermain bola di lapang porda, lapangan sepakbola yg terletak di belakang rumah. biasanya pulang sekolah sd itu aku pulang ke rumah sebentar, ganti baju lalu berlari ke lapangan bola, tak jarang jug alangsung main bola kalau besoknya sekolah libur.
    Sejak kecil aku sudah mencintai sepakbola, salah satu alsannya mungkin karena ada lapangan sepakbola yg terletak tepat di belakang rumah, dimana setiap sore selalu ada saja pertandingan2 seru antar kampung, juga beberapa ssb ( sekolah sepak bola ) yg berlatih disana. Karena hobi yg satu itu juga mungkin menjadi penyebab utama prestasi akademis ku sangat buruk, sejak TK Al-Qur'an aku g pernah dapat nilai yg memuaskan, beda dg ketiga saudara perempuanku yg lain, rata2 mereka selalu berhasil menyabet gelar juara kelas, bahkan sejak sd sampai lulus pun mereka tetap menjadi juara kelas, hal yg g pernah aku rasakan selama menginjak bangku tk,tpa dan sd.
    aku adalah anak kedua dari 4 bersaudara, sebagai anak tunggal sebenarnya aku ada;ah anak yg sangat pendiam diawalnya. aku g tertarik untuk main dengan teman2 sebaya, hanya diam saja dirumah, terkadang hanya melihat ayah bekerja. saat itu ayag berprofesi seperti kebanyakan orang2 lainnya di cibaduyut, yaitu membuat sepatu. aku sering memperhatikan ayah membuat sepatu hingga suatu saat ketika ayaj sedang menjahit aku merengek pengen duduk di pangkuannya, hasilnya adalah jari2 tanganku ikut terjahit. selain itu aku juga jd mempunyai kebiasaan buruk yaitu menggigit karet gelang dan potongan2 kulit, jingga terkena penyakit berat bronitis, kata ibu saat utu kondisi aku amat sangat menyedihkan, dg tubuh yg jadi kurus kerontang bahkan sampai tdk mampu jalan.
    Setelah sembuh pun aku masih saja sama, pendiam. padahal saat itu aku sudah kelas 2 sd. merasa khawatir akan keadaanku, ayah yg saat itu masih mempercayai "orang pintar" mendatangiku dan meminumkan segelas air putih, entah karena kebetulan atau tidak seyelah itu aku jadi nakal luar biasa, pun seperti dilimpahi energi yg luar biasa berlimpah, mulailah saat itu aku brmain keluar, salah satunya adalah bermain bola setiap hari setelah pulang sekolah. suatu ketika bibi didekati ama seseorang yg ingin menjadikannya istri, dia ini adalah seorang guru beladiri namun beragama nasrani. banyak pertentangan tentang dia, namun mereka tetap ingin menikah, akhirnya ayah ku turun tangan dan si lelaki ini akhirnya memeluk islam.
    kemudian ia mendirikan sebuah pendopo perguruan bela diri, ia kemudian memasukan saya sebagai salah satu muridnya, sebenarnya kondisi ekonomi keluarga ku sangat tidak baik saat itu. ayah yg hanya berprofesi sbg buruh sepatu tentu saja ga bisa berbuat lebih banyak untuk membiayai keluarga dg empat anak, hasilnya saat itu kondisi aku secara pribadi cukup memprihatinkan, wlau nenek dari ibu adalah salah seorang yg termasuk kaya raya, dg kepemilikan tanah dan puluhan kontrakan saat itu, tapi ibu ga mau merasa dikasihani dan berusaha terlihat cukup dihadapan nenek. salah satu hal yg paling mengharukan mungkin dialami kakak dan aku, waktu mau berkunjung ke rumah nenek, ibuingin memakaikannya baju baru yg bagus, namun ayah ga sabggup mengadakan untuk membeli bajubarunya, akhirnya sebuah horeng bermotif bunga menjadi pilihan untuk kemudian ibu jahit menajdi baju baru yg ia kerjakan 2 hari 2 malam. sementara aku, karena ketentuan untuk belajar bela diri itu memakai baju khas yaitu baju bela diri menyerupai kimono dan celana gombrang berwarna putih, karena ga sanggup beli akhirnya ibu mebuatkanku seragam itu dari kain bekas karung terigu.
    begitulah, hari2 kemudian diisi dg bermain bola dan latihan bela diri, seminggu 3 kali. ntah mulai kapan tiba2 saja kenakalanku memcapai titik2 puncaknya, diawali dg jadi seringnya aku berkelahi di lapangan bola, mungkin karena merasa sudah mempunyai ilmu beladiri tiba2 saja aku jd merasa arogan dan merasa paling jagoan, banyak teman yg jadi korban pemukulanku saat itu. puncaknya adalah di awal2 masuk kelas 3 sd, ada ledekan dari tema saat itu, aku kejar2 dia selau berhasil melarikan diri, suatu ketika tiba2 ia muncul di luar kelas, dibelakang kaca ia mulai meledek dan menjulurkan lidahnya, tanpa ampun tiba2 aku memukul kaca hingga pecah, tembus dan mengenai wajahnya, saat itu tangan dan wajah teman saya itu berdarah-darah, sekolah gempar, aku kemudian diamankan lalu diantarkan ke orang tua, saat itu ibu sungguh bijak, aku yg tiba dirumah menangis sejadi-jadinya beliau redakan dg kalimat2 menenduhkan " sudah, itu sudah berlalu, itu perbuatan buruk, jangan ulangi dan segera minta maaf ya" ujarnya sambil mengelus-ngelus rambutku, seketika itu pula tangisanku reda. setelah kejadian itu aku menjadi seseorang yg disegani disekolah, hampir ga ada yg berani menjahiliku lagi, sayangnya "keterkenalan" ku itu berimbas ke adik2 yg kemudian memasuki sd yg sama, setiap guru pasti "menasabkan' mereka dg aku : "oh ini rindi adiknya hendra yg mukul kaca itu ya?" . untungnya semua itu berhasil mereka tutupi dg prestasi terus menerus juara kelas. oh iya, walaupun begitu aku juga ga sepi prestasi, ada satu hal yg tentu saja membanggakan yaitu aku mewakili sd ke lomba lukis antar sd se bandung raya, karena saat itu hasil lukisan2 ku selalu paling bagus, padahal saat itu baru kelas 3 sd. hanya itu prestasi tertinggi ku, dibandingkan prestasi kakak sama adik di sd yg sama yg selama 6 thn berturut--turut selalu menjadi juara kelas, prestasi aku paling baik tuh rangking 4, selebihnya jauh dari itu.
    namun punccak dari semua kenakalanku adalah di suatu hari, mainan mobil2anku masuk ke kolong kasur, sebenarnya aku bisa saja mengambilnya sendiri dg merangkak, tapi aku ngga mau, aku inginnya ibu yg mengambilnya, padahal saat itu ibu sedang hamil tua. saat itu dirumah tdk ada siapa2 selain aku dan ibu, aku berpikir mungkin ibu bs mengambilnya dg sapu, tp ia tetap menolak karena terbatasi dg kehamilannya. aku marah, kemudian pergi dari rumah dg membanting pintu, aku mau kabur..kataku saat itu, ibu melihat saja dari belakang, dan terlihat aku menuju rumah nenek, kata ibu "biar saja, nanti ayahnya yg menyusul" setelah beliau memastikan aku belok ke gang yg tepat menuju rumah nenek. Pada awalnya aku memang akan ke rumah nenek, ngadu, tapi tiba2 tengah jalan aku memutuskan berbelok arah, memutar kemudian sampai di lapangan bola. ada lubang bekas galian saat itu, karena cape nangis dan berjalan akhirnya aku masuk kesana lalu tertidur,lama.
    setelah ayah pulang, beliau disuruh ibu menyusul ke rumah nenek, tapi ternyata aku tdk ada disana, mulail;ah kepanikan menjalar, ayah,kakek dan pamanku mulai mencari-cari kemana aku pergi, hampir semua rumah teman,guru didatangi namun ga ada yg tau kemana kau pergi, ibu mulai menangis, ancaman bahwa aku akan kabur sepertinya adalah kenyataan.sa,pai menjelang sore aku blm ditemukan, hampir sekampung ikut mencari bahkan ayah sampai memberitakan berita kehilangan ini di radio-radio. Sementara itu, tiba2 aku terbangun setalah sebuah bola menghantam kepalaku, mulai sadar ternyata sudah semakin sore dan aku tertidur sangat lelap di lubang ini, terdengar suara2 yg mendekat yg ternyata adalah temanku Ujang yg hendak mengambil bola, ia terpekik " Hendra, kamu ada disini ternyata !!" ia kemudian berlari dan memberitahu keberadaanku ke orang tua, aku kemudian diseret dari sana lalu dibawa ke kamar mandi, diguyur sambil dimarahi habis2an, belum pernah aku melihat ibu semarah itu, pintu kamar mandi dikunci, saat itu aku berpikir mungkin ibu akan membunuhku. saat itu nenek menggedor-gedor pintu kamar mandi meminta ibu tenang,sementara aku menagis histeris setelah ebberapa kali kepala dimasukan ke dalam bak mandi. setelah itu nenek membawaku ke kamar,membajukan dan menyuapi aku makan, kemudian aku mencoba tidur dg isak yg masih saja ada, setelah malam menjelang, ibu mendatangiku, mencium kepalaku, menyelimuti, kemudian memelukku lalu berkata "maafkan ibu ya sayang"hingga kami berua tidur terlelap.
    esoknya aku mendengar samar ibu berkata pd ayah " pokoknya ibu mau hendra yg dulu, itu tanggung jawab bapak, ibu ga mau tahu" jawab ayah ' iya, katanya agar hendra bisa balik lagi ke yg dulu ia harus disunat bu, agar bisa baik lagi seperti sedia kala" "baik kalau begitu,minggu depan kita gelar pesta sunat nya hendra, besar2an." kata ibu, saat itu memang kondisi ekonomi keluarga sudah mulai membaik setlah ayah berhasil menjadi suplier sepatu2 cibaduyut ke beberapa toko2 besar di bandung dsk. Dan benar saja, setelah itu aku seperti kembali ke hendra yg dulu, pendiam, tidak banyak tingkah, dan lebih menyukai diam di rumah saja, bermain bersama adik bayi yg mungil atau sekedar melepaskan hobi, menggambar atau bermain bola sendirian di halaman rumah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senja di Palestina..

Senja di palestina, bidadari berbaris rapi menyambut para syuhada, sebagian berebut ruh mereka di tanah-tanah ajaib; Gaza.. Senja di Palestina.. raungan cekaman silih berganti rasa: syahid yang dimimpikan, syurga yang dijanjikan.. Senja di Palestina.. jutaan do'a bersayap cahaya menembus langit, beberapa mengiringinya dengan air mata, juga sesak; hanya itu yg dia bisa Senja di Palestina.. sesaat lagi fajar kemenangan akan tiba, menerbitkan cahaya di timur yang mengangkasa, dari Gaza.. 

Perempuan di balik senja

 Seorang perempuan memandang cermin, lusuh, ia sudah tak mengingat kapan terakhir ia membasuhnya dengan lap basah. Debu-debu dipermukaannya, menampakan wajahnya yang juga lusuh ditelan senja. Dalam cermin itu ia melihat bayangan almanak, tepat dipinggir jendela yang memerah karena pantulan matahari senja. Perempuan beranjak, mendekati almanak “sudah tanggal muda, aku lupa membaliknya” ia bergumam, lalu membalikan lembaran kalender yang telah lima bulan terpampang didinding kamarnya. “ah..minggu depan ternyata tanggal lahirku, bertambah lagi umurku” ia mengusap pipinya; kasar. Ia lalu berjalan, mendekati jendela. Sudah senja, langit memerah megah. Sebentar lagi gelap sempurna menggulung terang. Ia masih disana, kembali jatuh kagum pada senja, tempat semua heningnya berhimpun. Ia tersenyum; satir.. “sudah lagi senja, padahal baru saja kulihat arak awan fajar. Satu persatu warna tersibak, cahaya memancar dari timur, menebar warna, semua yang dilaluinya menjadi i

Tentang debar, deras kata dan hening hujan..

Layar terkembang, kisah kembali dimulai lengkum senyum di ujung senja dan debar yang demikian meraja "Selalu ada berjuta alasan untuk membawamu serta" katamu "Dan malam ini hanya ada aku dengan segudang tanya, dan engkau yang akan memecahkan karang" wajahnya melukis senyum; bimbang. Lalu kita menyusuri malam, berjalan beriring dibawah temaram lampu kota orang-orang lalu lalang, beberapa mengukir tawa sementara kepalaku penuh tanda tanya "apa yang hendak kau tanyakan, duhai?" tatapan mata tak seperti biasanya, aku melihat binar kata-kata berjatuhan dari atas kepala: ia ingin mengatakan sesuatu, tunggulah hingga membuncah sementara bawalah ia menaiki mesin waktu, mengisahkan lampau dimana semua kisah bermula dan terus saja kepala diputari tanda tanya "Duhai..Apa yang hendak engkau katakan?" Ia menjatuhkan tubuhnya ke belakang sofa sesekali matanya memejam sembari berkata sangat pelan "Mengapa tak pernah mati sega