Langsung ke konten utama

Delapan Sisi

   
 
    hari ini saya mau me-review buku yang baru saja saya baca, judulnya "8 sisi" yang diterbitkan oleh plot point. Awalnya saya tertarik membaca buku ini karena salah satu penulis dalam antolologi cerpen ini adalah salah satu blogger favorit saya: Riesna Kurnia. Saya yang "geram" karena penulis seperti dia belum menerbitkan juga buku, akhirnya terpuaskan dengan karyanya yang akhirnya dibukukan. Titel sebagai penulis resmi ia sandang sekarang, setelah cukup lama menjadi blogger yang banyak dinikmati karya-karyanya hehe.
    Karena alasan itu, maka wajar mungkin karya yang pertama saya baca adalah cerpennya yang berjudul Tris. Tanpa melihat lembar-lembar awal saya langsung loncat ke cerpennya yang disimpan di halaman 91. Bagi yang terbiasa membaca blognya tentu akan sedikit heran, karena kali ini ia hadir dengan "tidak seperti biasanya". Narasi-narasi puitis yang menjadi kekuatan tulisannya di blog tidak ditemukan dalam cerpennya. Uniknya, ketika membaca cerpen ini saya membayangkan bagaimana "kerasnya" Riesna melengkapi tulisannya dengan istilah-istilah kdokteran, bagaimana ia membuka buku-buku kedokteran yang tebal-tebal itu dan sebagainya, hingga lahirlah sebuah karya yang menanamkan pengetahuan ke pembacanya. Setidaknya saya jadi tahu apa itu pre-eklamsia dan istilah-istilah yang cukup mengerutkan kening seperti sedativum, proteinuria, obsgyn dan lain-lain (istilah-istilah terakhir saya cari sendiri artinya, setelah penasaran dengan istilah-istilah itu dicerita hehe)
    Selesai membaca, saya lagi-lagi terkejut, Riesna yang biasanya begitu "anggun" di blognya, kali ini dengan "tega"nya menulis tentang kematian, tidak tanggung-tanggung: kematian ibu dan bayi dalam kandungannya sekaligus! duh... Mungkin titik poin cerita adalah tentang Sugeng, mahasiswa kedokteran yang didera kesusahan dari awal hingga menjadi mahasiswa yang membanggakanTris, sang dosen sekaligus suami dan ayah dari ibu dan bayi yang meninggal itu. Sugeng berhasil menjadi seorang dokter, namun pada akhirnya menjadi antiklimaks karena dia membuka praktek ilegal yang melanggar hukum. Inti cerita mungkin itu, tapi entah mengapa  saya justru merasakan kengerian yang luar biasa di adegan ruang bersalin saat kematian merenggut Istri dan anak Tris. Namun justru disitu uniknya, dari satu cerita saja begitu banyak kesan yang bisa diambil. Pendalaman tokoh Tris yang tenang, istrinya yang begitu bijaksana atau Sugeng yang cerdas dan berambisi bisa dengan mudah kita rasakan. Pun dengan alur cerita, kisah tentang Sugeng tentu cukup mengejutkan dan keluar dari kebiasaan cerita-cerita kebanyakan, juga tentang campur aduknya perasaan Tris dan lompatan-lompatan waktu saat Tris mengingat berbagai kejadian, dapat dengan mudah saya rasakan; beginilah mungkin rasanya menjadi seorang dosen dan ayah dengan segala kenang dan perih yang harus dilalui, seperti Tris. Ada sisi hening saya yang terusik setelah membacanya, juga do'a. Ya, do'a: semoga saya tidak merasakan apa yang Tris rasakan. Ajaib bukan?
    Begitulah, saya lalu memutuskan untuk mencukupkan diri dengan membaca karya riesna saja, karena dari awal tujuan saya mencari buku ini hanya ingin membaca karyanya saja, apalagi saat itu cukup banyak list buku yang harus saya baca dan selesaikan. Namun Riesna meyakinkan bahwa saya harus selesai membaca buku ini, ada hal unik tentangnya. Karena terprovokasi akhirnya saya mengambil kembali buku yang sudah saya simpan dijajaran buku-buku yang selesai dibaca, saya mulai buka dari lembar-lembar awal dan...saya tersenyum, dari daftar isi saja sudah terlihat keunikan buku ini; seluruh judul cerpen yang berjumlah delapan ini sama-sama menggunakan nama-nama tokoh utama sebagai judulnya.
    Dan lagi-lagi saya "tertipu". Cover dan judul yang manis ternyata tak seperti isinya, lutut saya bergetar membaca cerita demi cerita di buku ini, yang ternyata mempunyai keterikatan cerita antara satu judul dengan judul yang lain. Ada begitu banyak kata Aborsi di buku ini (yang sepertinya menjadi tema sentral?) yang cukup membuat saya bergidik ngeri. Buku yang awalnya saya kira bertemakan cinta ini ternyata bercerita tentang pilihan, bagaimana keterkaitan antara sebuah pilihan dengan rangkaian peristiwa-peristiwa lain setelahnya memang benar adanya. Pilihanmu bukan milikmu saja, benar, bagaimana sebuah pilihan akhirnya dapat menjadi garis takdir yang lain, bagaimana sebuah pilihan juga menjadi garis takdir bagi kehidupan orang lain juga. Tema yang sangat menarik, buku yang sangat menarik, unik dan benar-benar anti mainstream. saya benar-benar mampu menikmati buku ini, yang tanpa sadar telah memberikan sebuah pelajaran berharga tentang hidup, kehidupan dan pilihan, luar biasa. Thumbs up! semoga ini bukan karya pertama dan terakhir mereka, namun menjadi tangga bagi karya-karya besar setelahnya.
   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senja di Palestina..

Senja di palestina, bidadari berbaris rapi menyambut para syuhada, sebagian berebut ruh mereka di tanah-tanah ajaib; Gaza.. Senja di Palestina.. raungan cekaman silih berganti rasa: syahid yang dimimpikan, syurga yang dijanjikan.. Senja di Palestina.. jutaan do'a bersayap cahaya menembus langit, beberapa mengiringinya dengan air mata, juga sesak; hanya itu yg dia bisa Senja di Palestina.. sesaat lagi fajar kemenangan akan tiba, menerbitkan cahaya di timur yang mengangkasa, dari Gaza.. 

Perempuan di balik senja

 Seorang perempuan memandang cermin, lusuh, ia sudah tak mengingat kapan terakhir ia membasuhnya dengan lap basah. Debu-debu dipermukaannya, menampakan wajahnya yang juga lusuh ditelan senja. Dalam cermin itu ia melihat bayangan almanak, tepat dipinggir jendela yang memerah karena pantulan matahari senja. Perempuan beranjak, mendekati almanak “sudah tanggal muda, aku lupa membaliknya” ia bergumam, lalu membalikan lembaran kalender yang telah lima bulan terpampang didinding kamarnya. “ah..minggu depan ternyata tanggal lahirku, bertambah lagi umurku” ia mengusap pipinya; kasar. Ia lalu berjalan, mendekati jendela. Sudah senja, langit memerah megah. Sebentar lagi gelap sempurna menggulung terang. Ia masih disana, kembali jatuh kagum pada senja, tempat semua heningnya berhimpun. Ia tersenyum; satir.. “sudah lagi senja, padahal baru saja kulihat arak awan fajar. Satu persatu warna tersibak, cahaya memancar dari timur, menebar warna, semua yang dilaluinya menjadi i

Tentang debar, deras kata dan hening hujan..

Layar terkembang, kisah kembali dimulai lengkum senyum di ujung senja dan debar yang demikian meraja "Selalu ada berjuta alasan untuk membawamu serta" katamu "Dan malam ini hanya ada aku dengan segudang tanya, dan engkau yang akan memecahkan karang" wajahnya melukis senyum; bimbang. Lalu kita menyusuri malam, berjalan beriring dibawah temaram lampu kota orang-orang lalu lalang, beberapa mengukir tawa sementara kepalaku penuh tanda tanya "apa yang hendak kau tanyakan, duhai?" tatapan mata tak seperti biasanya, aku melihat binar kata-kata berjatuhan dari atas kepala: ia ingin mengatakan sesuatu, tunggulah hingga membuncah sementara bawalah ia menaiki mesin waktu, mengisahkan lampau dimana semua kisah bermula dan terus saja kepala diputari tanda tanya "Duhai..Apa yang hendak engkau katakan?" Ia menjatuhkan tubuhnya ke belakang sofa sesekali matanya memejam sembari berkata sangat pelan "Mengapa tak pernah mati sega